K. Anwar Musyaddad (Foto/Istimewa)
Oleh Lailul Ilham*
Masda.id - Dalam eskatologi islam
Dajjal dikenal sebagai sosok dengan ciri fisik pecak (buta mata sebelah),
pendusta, pandai bermain sihir, dan mampu memanipulasi kebenaran dan kebohongan
sehingga kebenaran menjadi kabur dan manusia bingung mencari dan menentukan kebenaran
yang sesungguhnya. Dalam literatur lain Dajjal dipersonifikasi sebagai sosok
(serupa manusia) dengan wujud menyeramkan, memiliki kekuatan/kesaktian luar
biasa, serta metafor-metafor lain yang mengindikasi simbol kekejaman dan
keangkara-murkaan. Sehingga kehadirannya dikatakan sebagai penanda ujian
terbesar bagi moral dan akidah umat manusia.
Berbagai pertanyaan muncul dalam pikiran,
apakah Dajjal benar-benar ada?, lalu bagaimana eksistensinya?, apakah berwujud
manusia?, atau berwujud benda-benda lain serupa manusia?, atau jangan-jangan reinkarnasi
iblis yang ingin menuntaskan dendam kepada manusia sebagaimana janjinya
(setelah terusir dari surga)?. tapi sudahlah.. itu
persoalan lain. Kali ini akan membicarakan pendangan K. Anwar Musyaddad dalam menginterpretasikan
Dajjal dalam lingkup yang lebih spesifik dan nyata dalam kehidupan.
Dalam satu perkumpulan, K. Musyaddad ngobrol santai
bersama rekannya yang lain, masing-masing saling ajukan fakta dan pendapat terkait
berbagai situasi yang melanda bangsa, mulai dari krisis moralitas, kecenderngan
umum manusia sekarang, soal pandemi, nilai tukar rupiah, sampai hutang
Indonesia, dan lain-lain. Yang terdengar menarik adalah guyonan K. Musyaddad
mengetengahkan pemaknaan Dajjal dalam konteks realitas sosial masyarakat sekarang.
Sepertinya ini perlu dicatat, jika tidak sebagai pengatahuan baru, paling tidak
sebagai perspektif baru dalam menerjemahkan Dajjal.
Umumnya, saat mendengar istilah “Dajjal” yang terlintas di
kepala adalah sosok, identitas person, karakteristik tubuh, atau sosok seperti
manusia. Namun K. Musyaddad menerjemahkan Dajjal sebagai sebuah realitas masyarakat dengan tatanan dan budaya yang baru.
“Mata satu” sebagai kata kunci K. Musyaddad dalam
menafsirkan Dajjal sebagai konsep yang sesungguhnya telah bekerja di
tengah-tengah masyarakat sekarang. Istilah “mata satu” dimaknai sebagai
perspektif tunggal, yaitu standar hidup sosial yang hanya didasarkan pada satu
hal yaitu materiil. Berbagai tindakan sosial atau sikap-sikap altruistik yang
semula didasarkan pada rasa simpati, solidaritas, dan kesadaran sosial, namun sekarang
sudah berubah. Tindakan altrustik sudah bersifat transaksional yaitu keberadaannya
ditentukan oleh materi/uang, pada kondisi ini uang menentukan ada dan tiadanya
altruisme masyarakat. secara kongkritnya; seseorang tidak akan memberikan
bantuan jika tidak ada imbalan. Kira-kira begitu.
Interpretasi berikutnya, “mata satu” ditafsirkan sebagai simbol
cara pandang yang cenderung subordinatif, seperti istilah “memandang sebelah
mata”. Mata satu dimaknai sebagai degradasi atau bahkan hilangnya
kepedulian antar sesama. wujud kongkritnya adalah hilangnya kesadaran untuk
saling menghargai dan saling memanusiakan antar sesama. Kemudian dampak
turunannya adalah bukan sekedar hilangnya tradisi saling menghargai tapi
(bahkan) tindakan-tindakan manusia cenderung intimidatif, saling menyepelehkan,
menjatuhkan, melihat orang sebagai lawan (bukan kawan). Bisa dibayangkan
bagaimana situasi masyarakat dalam kehidupan yang demikian.
Kira-kira demikian terjemah K. Musyaddad terhadap Dajjal
dalam konteks sosio-kultur masyarakat. Interpretasi ini bisa saja benar atau
sangat mungkin keliru. Namun yang terpenting bukan soal kebenaran interpretasi,
tapi bagaimana sesama manusia saling menjaga supaya berbagai interpretasi tidak
terjadi dalam kehiduan nyata. Kita sepakat membantah interpretasi dengan menunjukkan
komitmen dalam merawat hubungan, baik ukhwah islamiah, ukhuwah
wathaniyah, terlebih ukhwah basyariyah.. Semoga
bermanfaat. []
*Alumni Pondok Pesantren Mashlahatul
Hidayah Errabu Bluto Sumenep
0 Komentar