Banner HIMA 2021

Melihat Dajjal

K. Anwar Musyaddad (Foto/Istimewa)

Oleh Lailul Ilham*

Masda.id - Dalam eskatologi islam Dajjal dikenal sebagai sosok dengan ciri fisik pecak (buta mata sebelah), pendusta, pandai bermain sihir, dan mampu memanipulasi kebenaran dan kebohongan sehingga kebenaran menjadi kabur dan manusia bingung mencari dan menentukan kebenaran yang sesungguhnya. Dalam literatur lain Dajjal dipersonifikasi sebagai sosok (serupa manusia) dengan wujud menyeramkan, memiliki kekuatan/kesaktian luar biasa, serta metafor-metafor lain yang mengindikasi simbol kekejaman dan keangkara-murkaan. Sehingga kehadirannya dikatakan sebagai penanda ujian terbesar bagi moral dan akidah umat manusia.

Berbagai pertanyaan muncul dalam pikiran, apakah Dajjal benar-benar ada?, lalu bagaimana eksistensinya?, apakah berwujud manusia?, atau berwujud benda-benda lain serupa manusia?, atau jangan-jangan reinkarnasi iblis yang ingin menuntaskan dendam kepada manusia sebagaimana janjinya (setelah terusir dari surga)?. tapi sudahlah.. itu persoalan lain. Kali ini akan membicarakan pendangan K. Anwar Musyaddad dalam menginterpretasikan Dajjal dalam lingkup yang lebih spesifik dan nyata dalam kehidupan.

Dalam satu perkumpulan, K. Musyaddad ngobrol santai bersama rekannya yang lain, masing-masing saling ajukan fakta dan pendapat terkait berbagai situasi yang melanda bangsa, mulai dari krisis moralitas, kecenderngan umum manusia sekarang, soal pandemi, nilai tukar rupiah, sampai hutang Indonesia, dan lain-lain. Yang terdengar menarik adalah guyonan K. Musyaddad mengetengahkan pemaknaan Dajjal dalam konteks realitas sosial masyarakat sekarang. Sepertinya ini perlu dicatat, jika tidak sebagai pengatahuan baru, paling tidak sebagai perspektif baru dalam menerjemahkan Dajjal.

Umumnya, saat mendengar istilah “Dajjal” yang terlintas di kepala adalah sosok, identitas person, karakteristik tubuh, atau sosok seperti manusia. Namun K. Musyaddad menerjemahkan Dajjal sebagai sebuah realitas masyarakat  dengan tatanan dan budaya yang baru.

“Mata satu” sebagai kata kunci K. Musyaddad dalam menafsirkan Dajjal sebagai konsep yang sesungguhnya telah bekerja di tengah-tengah masyarakat sekarang. Istilah “mata satu” dimaknai sebagai perspektif tunggal, yaitu standar hidup sosial yang hanya didasarkan pada satu hal yaitu materiil. Berbagai tindakan sosial atau sikap-sikap altruistik yang semula didasarkan pada rasa simpati, solidaritas, dan kesadaran sosial, namun sekarang sudah berubah. Tindakan altrustik sudah bersifat transaksional yaitu keberadaannya ditentukan oleh materi/uang, pada kondisi ini uang menentukan ada dan tiadanya altruisme masyarakat. secara kongkritnya; seseorang tidak akan memberikan bantuan jika tidak ada imbalan. Kira-kira begitu.

Interpretasi berikutnya, “mata satu” ditafsirkan sebagai simbol cara pandang yang cenderung subordinatif, seperti istilah “memandang sebelah mata”. Mata satu dimaknai sebagai degradasi atau bahkan hilangnya kepedulian antar sesama. wujud kongkritnya adalah hilangnya kesadaran untuk saling menghargai dan saling memanusiakan antar sesama. Kemudian dampak turunannya adalah bukan sekedar hilangnya tradisi saling menghargai tapi (bahkan) tindakan-tindakan manusia cenderung intimidatif, saling menyepelehkan, menjatuhkan, melihat orang sebagai lawan (bukan kawan). Bisa dibayangkan bagaimana situasi masyarakat dalam kehidupan yang demikian.

Kira-kira demikian terjemah K. Musyaddad terhadap Dajjal dalam konteks sosio-kultur masyarakat. Interpretasi ini bisa saja benar atau sangat mungkin keliru. Namun yang terpenting bukan soal kebenaran interpretasi, tapi bagaimana sesama manusia saling menjaga supaya berbagai interpretasi tidak terjadi dalam kehiduan nyata. Kita sepakat membantah interpretasi dengan menunjukkan komitmen dalam merawat hubungan, baik ukhwah islamiah, ukhuwah wathaniyah, terlebih ukhwah basyariyah.. Semoga bermanfaat. []

*Alumni Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah Errabu Bluto Sumenep

Posting Komentar

0 Komentar