Banner HIMA 2021

Tahlilan; Antara Perubahan dan Hal Lain yang Hilang

 


Lailul Ilham (Foto/Istimewa)

Oleh: Lailul Ilham*

Masda.id - Dalam tradisi masyarakat Madura, khususnya masyarakat desa Errabu Bluto Sumenep, setiap ada kifayah (kematian) pasti dilangsungkan acara “tahlilan” yaitu pembacaan Al-Qur'an, tahlil, dan doa-doa yang diselenggarakan di rumah shahibul musibah, acara tersebut dliakukan pada hari pertama sampai hari ketujuh kematian. Doa-doa disampai-khususkan untuk keselamatan yang meninggal serta suguhan yang diberikan sebagai sedekah dari keluarga dan saudara yang meninggal.

Sebagaimana tradisi pada umumnya, sebagai cipta karsa manusia tahlilan juga mengalami perubahan. Perubahan tersebut terjadi pada aspek teknis atau tata cara tertentu dalam acara tahlilan dan tidak berpengaruh pada perubahan secara substantif. Namun dalam perspektif sosiologis, perubahan tersebut memiliki dampak negatif, khususnya terhadap aspek sosial masyarakat.

Perubahan teknis yang dimaksud adalah perubahan yang terjadi pada tata cara penyajian ata penyuguhan jamuan kepada jamaah tahlil. Berikut akan dijelaskan bagaimana bentuk kongkrit perubahan yang terjadi, kemudian unsur nilai sosial pada konsep penyuguhan pertama dan kedua (perubahan), serta nilai sosial yang hilang akibat perubahan tersebut.

Dulu penyuguhan dilakukan secara tradisional yaitu menyuguhkan jamuan (nasi dan teh) secara langsung, kemudiaan dimakan bersama-sama setelah jamuan tersalurkan kepada semua jamaah. Cara penyuguhan yang tradisional membutuhkan waktu yang tidak sebentar, sehingga sembari menunggu waktu makan, biasa warga saling ngobrol dengan orang disekitarnya, tema obrolan pun beragam dari hal serius, guyonan, sampai hal konyol lainnya. Mereka saling bercerita tentang dirinya, saudara, dan tetangga, bercerita hal-hal yang terjadi di sekitar, saling tanya kabar, tanya kondisi pertanian dan ternak, serta peristiwa-peristiwa lain yang terjadi di waktu tertentu.

Fakta di atas menunjukkan bahwa cara penyuguhan yang tradisional membutuhkan kerja lebih besar serta estimasi waktu yang tidak sebentar, sehingga di sela-sela itu para jamaah tahlil memiliki kesempatan untuk saling bersosialisasi dengan warga yang lain. Sembari menunggu hidangan selesai disuguhkan, tidak ada acara lain selain bicara dengan orang di sekitar. Momen tersebut juga menjadi kesempatan bagi warga untuk saling sapa dengan warga yang lain, saling bertanya lebih-lebih saling memberi solusi atas persoalan-persoalan yang dialami. Momen tersebut juga menjadi ruang berbagi cerita sampai cerita hal-hal  konyol sehari-hari sekedar untuk diiketahui dan ditertawakan bersama. Bagimana tidak, waktu yang sebentar itu berpotensi menyehatkan relasi sosial dan emosisonal masyarakat.

Kemudian cara penyuguhan sekarang tidak seperti sebelumnya, penyuguhannya cenderung lebih mudah, simpel, dan tidak butuh banyak waktu, yaitu hanya dengan menyuguhkan segelas teh dan nasi bungkus yang diberikan kepada jamaah sebelum masuk area acara tahlilan. Cara tersebut tentu banyak memberikan keuntungan terlebih pada efisiensi kerja dan waktu serta meminimalir resiko yang lain.

Setiap perubahan (kemajuan) memang cenderung lebih praktis, cepat, dan resiko rendah. Seperti model penyuguhan tersebut, tentu sudah dapat dikerjakan tanpa membutuhkan waktu lama, penyajian tidak menggunakan piring tentu mempermudah proses pelayanan, tidak da piring kotor sehingga harus dicuci, dan tentu juga meminimalisir atau bahkan menghilangkan resiko piring pecah dan jenis kerusakan lainnya. Sederhananya adalah perubahan tersebut memberikan kemudahan-kemudahan kepada warga, terkhusus kepada shahibul musibah.

Berikutnya pembacaan dalam perspektif sosiologis. Perubahan teknis penyuguhan tersebut tidak sekedar berimplikasi kemudahan tapi juga menghilangkan satu ruang sosial masyarakat, yaitu acara tahlilan yang juga dimanfaatkan sebagai momen sosial atau ruang komunikasi dan sosialisasi antar warga, namun sekarang sudah tidak bisa akibat terjadinya perubahan. Kongkritnya adalah waktu menunggu suguhan mulanya masyarakat manfatkan untuk saling sapa dengan warga sekitar, namun waktu itu sudah tidak ada, tradisi ngobrol santai pun otomatis tidak ada, karena seusai acara tahlil semua masyarakat langsung pulang (membawa bungkusan).Perubahan tersebut telah menghilangkan ruang-ruang komunikasi masyarakat serta tradisi basa-basi yang menjadi bukti kehangatan masyarakat desa.

Dan lagi-lagi itu sekedar pembacaan pribadi dan tentu sangat subyektif. Perubahan yang telah terjadi tidak mungkin dapat diganti atau dikembalikan lagi, sebab perubahan itu natural, bagian dari penandan kehidupan, serta sewaktu-waktu memang mesti dilakukan. Biarkan perubahan itu terjadi asalkan kita tetap berusaha menyiasati ruang-ruang sosial dan perkumpulan yang lain. Semoga perubahan tidak membawa serta hilangnya hal-hal lain pada diri dan lingkungan kita. Semoga bermanfaat. []

             *Alumni Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah Errabu Bluto Sumenep

Posting Komentar

0 Komentar