![]() |
Lailul Ilham (foto/istimewa) |
Oleh Lailul Ilham*
Masda.id - Setiap individu memiliki potensi yang sama untuk menangkap pengetahuan, persis sebagaimana pengetahuan yang ditakdirkan bisa diserap oleh siapa saja tanpa alasan dan kualifikasi apapun. Sebagai entitas yang imaterial, pengetahuan memungkinkan dimiliki setiap individu tanpa ada tanda-tanda yang dapat diindera atau penanda kongkrit yang dapat diidentifikasi secara gamblang. Penanda tersebut dapat berupa perubahan-perubahan tertentu pada kondisi fisiologis secara meteriaslitik.
Ketiadaan tanda-tanda keilmuan secara fisik menimbulkan kebingungan tersendiri, terlebih kepada kaum santri. Sebab, dalam tradisi santri (atau) yang direduksi dari ajaran-ajran agama; diajarkan untuk memberikan penghormatan terhadap orang berilmu (‘alim). Perlu disadari terlebih dahulu bahwa seorang ‘alim tidak memiliki tanda-tanda khusus yang dapat diidentifikasi secara umum, kecuali setalah menguraikan pengetahuan-pengetahaun tertentu.
Namun sekalipun demikian, dalam konteks agama kemampuan menjelaskan pengetahuan dianggap belum memenuhi syarat untuk dianggap seorang ‘alim yang sebenarnya, sebab masih berpotensi dimurka Tuhan. Sebagaimana ditegaskan “kabura maqtan ‘indallah limataquluna ma la ta’malun”, firman tersebut mengisyaratkan hal lebih dari sekedar kemampuan menguraikan pengetahuan-pengetahuan.
Menurut penulis, perintah memulyakan seorang ‘alim menunjukkan makna ganda, yaitu sebagai perintah itu sendiri dan sebagai isyarat bahwa seorang ‘alim tidak cukup hanya sekedar berilmu tapi mesti mengamalkan pengetahuan. Kemudian bentuk pengamalannya tentu tidak cukup hanya dengan melakukan transformasi pengetahuan, melainkan perlu pengamalan dalam tindakan-tindakan dan aktivitas keseharian. Artinya, seseorang yang berilmu mesti menunjukkan sikap-sikap, karakter, serta perilku yang mencerminkan pengetehuannya. Jika kesadaran tersebut sudah terbangun tentu akan lahir pola kehidupan masyarakat yang berjalan atas dasar ilmu pengetahuan.
Uraian di atas menegaskan bahwa pengatahuan belum purna sebelum dimeterialisasi dalam bentuk sikap atau perilaku, pengetahuan harus menubuh atau terejawantahkan melalui ekspresi-ekspresi tubuh (’alim). Sebab, pengetahuan yang termaterialisasi tentu mempermudah seseorang dalam mengindentifikasi keberilmuan seseorang. Ada dan tidak adanya penghormatan kepada seorang ‘alim setidaknya memiliki dua kemungkinan; mungkin karena (keberilmuannya) tidak tampak sehingga tidak diketahui, kemudian sangat mungkin juga karena seseorang tersebut tidak menunjukkan sikap atau perilaku layaknya seorang berilmu. Kasus tersebut sebenarnya tidak hanya menyangkut personal pengetahuan, tapi menyangkut kehidupan manusia secara umum. Artinya, penghormatan dan penghargaan seseorang itu sangat ditentukan oleh penghargaan dan penghormatan seseorang kepada orang lain.
Adanya dua kemungkinan tersebut berpotensi mendorong seseorang untuk lebih introspeksi diri, sebab adanya kesadaan bahwa perlakuan seseorang kepada kita terkadang merupakan cerminan dari bagaimana cara kita memperlakukan orang lain. Jika kesadaran sudah terbentuk, akhirnya tidak mustahil akan terbentuk kehidupan dan relasi sosial masyarakat yang berdasar atas pengetahuan, yang sesuai dengan dasar-dasar dan nilai agama, serta sesuai dengan prinsip keadilan dan kemanusiaan.
Bicara soal pengetahuan yang menubuh, mengingatkan penulis pada pernyataan Bapak Syakran yang disampaikan kepada seorang anak sebelum berangkat mondok, beliau mengatakan “samoge ollea ‘elmu se cekka’ ka badanah” (semoga mendapat ilmu yang melekat ke badannya) (11/06/2019: 18:03). Pernyataan tersebut membuat penulis berpikir keras, mencari-cari alasan mengapa harus memilih “badan”, kok bukan yang lain? atau kenapa bukan pikiran saja, kan hanya pikiran yang dapat menerima pengetahuan (selain hati)?
Pertanyaan tersebut memunculkan beragam jawaban yang tidak dapat dijelaskan keseluruhan, namun pilihan “badan” sebagai identitas material pengetahuan setidaknya bermakna beberapa hal. Diantaranya karena sifat ilmu pengeahuan yang abstrak sehingga tidak cukup hanya sekedar disimpan, artinya perlu dijelaskan atau disampaikan sehingga pengetahuan menjadi kongkrit. Kemudian standar “kebermanfaan” ditentukan oleh orang lain. Artinya sesuatu dianggap bermanfaat jika liyan (subyek lain) merasakan kebermanfaatan tersebut.
Begitu pula dalam konteks pengetahuan, mesti disampaikan dan diajarkan sehingga melahirkan pengetahuan pada tubuh-tubuh yang baru, kemudian melahirkan kesadaran lalu membangun gerakan baru (pada setiap tubuh) untuk menyampaikan pengetahuan kepada tubuh-tubuh lain yang lebih baru. Demikian, semoga bermanfaat. []
*Alumni Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah Errabu Bluto Sumenep
0 Komentar