Gedung MTs. MASDA (Foto/Istimewa)
Oleh: Lailul Ilham & Amrozi*
Karena
sedang pancaroba, pagi ini (11/11/2020), dua santri terlihat sedang bahu
membahu membantu guru memperbaiki sebagian genteng sekolah yang rusak, supaya
di musim penghujan kali ini atap sekolah tidak bocor dan tidak menggaggu
proses kegiatan belajar mengajar santri.
Sebenarnya
aktivitas tersebut cukup problematis, sebab dimungkinkan mendapat respon publik
yang beragam, sebagian menerima bahkan sebagian besar lainnya akan menolak dengan alasan berbeda. Sebagian mengganggap tindakan wajar
dan sebagian lain melihat sebagai tindakan eksploitatif, termasuk tindakan
berbahaya, tidak ada pengamanan (safety) yang cukup, serta alasan-alasan
lain yang mungkin ditemukan.
Tulisan
ini tidak bicara kemungkinan-kemungkinan tersebut, tapi lebih kepada bagaimana
sebenarnya persepsi masyarakat madura pada umumnya terhdap identitas santri.
Bagi masyarakat madura, santri tidak hanya didefinisikan sebagai seorang yang bergerak di sektor pengembangan pengetahuan tapi lebih dari itu santri diidentifikasi ke dalam dua
fungsi, yaitu sebagai pencari (ilmu) dan sebagai pengabdi. Sehingga implikasi turunannya adalah aktivitas santri (di atas) dianggap sah sebab disandarkan pada
posisi santri sebagai pengabdi, disamping kegiatan sehari-hari dimanfaatkan
sebagai pencari ilmu.
Bentuk
pengabdian itu beragam, sesuai kebutuhan/perintah ustadz serta sesuai kemampuan
santri itu sendiri. Secara logis, bentuk pengabdian cenderung tidak sinergis
dengan pengembangan keilmuan atau aktivitas pengabdian tidak sepenuhnya mendukung pengembangan potoensi keilmuan santri. Namun santri dan wali santri
percaya bahwa bahwa mengabdi adalah jalur alternatif (bahkan jalur TOL) yang
dapat ditempuh oleh santri untuk memperoleh keutamaan-keutamaan bahkan
keutamaan ilmu itu sendiri.
Para
wali santri tidak pernah khawatir jika anaknya rajin mengabdi karena itu tindakan
yang tidak kalah membanggakan. Sebab dibalik pengabdian, beribu-ribu
harapan orang tua dipanjatkan semoga anaknya kelak mendapat barokah dari para asatidz
dan pesantrennya. Membahas “barokah” dalam persepsi masyarakat madura sebenarnya
bicara suatu yang sudah final karena barokah adalah stadium akhir yang menentukan
keberhasilan segala usaha manusia, termasuk dalam urusan kependidikan. Keutamaan
barokah melebihi apapun, termasuk kemampuan intelektual bahkan entitas ilmu itu sendiri.
Selain
belajar, mengabdi juga merupakan bagian integral dari proses pendidikan,
sehingga keduanya mesti sama-sama dilakukan untuk memperoleh pengetahuan dan
keberkahan. Berangkat dari pemahaman tersebut, jadi tidak semua tindakan santri
di luar pendidikan mesti dipersalahkan, sama halnya dengan tidak semua tindakan
guru kepada murid mesti dipersoalkan. Tindakan kriminalisasi terhadap guru atas
dasar perlakukan tidak pantas itu sah, jika guru telah melanggar kode etik,
hukum perundang-undangan, atau sistem norma yang lain. Namun juga tidak benar
jika semua perlakuan dengan mudah dijadikan delik aduan, akhirnya itu hanya akan menciptakan ketakutan dan menciderai kebebasan tenaga pendidik.
Butuh pengetahuan dan kesadaran terkait hal tersebut untuk tetap menjaga marwah guru dan konsep keberkahan. Semoga bermanfaat..
*Alumni Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah Errabu Bluto Sumenep
0 Komentar