![]() |
Gedung MI dan MA Mashlahatul Hidayah Errabu Bluto Sumenep. Foto: Dok. Masda.id |
Masda.id - Hingga kisaran awal tahun 1958, pendidikan keagamaan di Desa Errabu Bluto Sumenep masih berupa pengajian di langgar (mushalla) dan masjid-masjid. Belum ada lembaga formal, baik negeri maupun madrasah, atau pesantren yang menjadi tempat belajar agama masyarakat.
Di Kabupaten Sumenep sendiri beberapa pesantren sudah berdiri antara lain Pesantren Al-Islah di Desa Moncek Tengah, Pesantren Al-Amin Prenduan dan Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk. Di pesantren-pesantren luar itulah para orang tua menitipkan anaknya untuk belajar agama.
Keberadaan pesantren yang cukup jauh dari Desa Errabu ini membuat sejumlah tokoh agama dan masyarakat tergerak dan menganggap perlu berdirinya sebuah pondok pesantren di Desa Errabu. Mereka ingin masyarakat yang tidak mampu mendidik anaknya di pesantren luar yang jaraknya cukup jauh tersebut masih tetap bisa belajar agama.
Baca juga: Hikam Syi'ir Kiai Mustandji Yusuf Ala Kitab Anni'am Syeikh Abdul Wahid bin Khudaifah (Syi'ir 1-10)
Di mulai dengan musyawarah, para tokoh agama dan tokoh masyarakat kemudian menyepakati berdirinya sebuah madrasah. Keinginan tersebut disampaikan kepada KH. Shadaqah dari PP. Annuqayah Guluk Guluk yang pada saat itu duduk di kursi DPRD II Kabupaten Sumenep. Mendengar keinginan itu, KH. Shadaqah memberikan respon positif.
Kemudian pada Malam Kamis, tepatnya tanggal 5 Maret 1958 M/ 14 Sya'ban 1377 H, para tokoh agama dan tokoh masyarakat yang juga dihadiri KH. Shadaqah berkumpul di kediaman KH. Rafi'ie di Daerah Lojih (desa errabu bagian utara). Mereka menyepakati bersama berdirinya Madrasah Mashlahatul Hidayah. Nama Mashlahatul Hidayah sendiri menurut riwayat diusulkan oleh KH. Shadaqah.
Peserta musyawarah sekaligus deklarator pendirian Mashlahatul Hidayah adalah para tokoh agama dan masyarakat serta pemuda yaitu: KH. Shadaqah, KH. Abdul Karim, KH. Moh Nur, KH. Rofii, K. Gazali, KH. Sholeh, K. Ishaq bin Yusuf, K. Muyami, K. Mu'tamad, K. Sadrin, P. Hosen, P. Rugina, KH. Kafrawi, K. Muhammad, KH. Usman, K. Terrak, P. Nawara, P. Maskon, P. Emmat, P. Sabuhar, P. Shoghir/ P. Dullasit. (Hasil wawancara pada KH. Shadaqah, tanggal 16 Januari 2008).
Selain menyepakati berdirinya Mashalatul Hidayah, musyawarah malam itu juga menghasilkan beberapa keputusan, seperti murid, tempat dan hubungan pemerintah dan organisasi serta mengenai jam masuk dan tenaga pengajar.
Hasil musyawarah para tokoh agama tadi, bisa disimpulkan menjadi 3 poin penting, yaitu:
1. Masing-masing peserta musyawarah (pendiri) mempunyai kewajiban yang sama dalam mencari murid.
2. Lokasi madrasah ditempatkan di rumah kosong yang telah dihibahkan dan tidak ada di area rumah salah satu pendiri.
3. Tidak ada pelimpahan tanggung jawab kepada salah satu pendiri, artinya masa kepemimpinan yang digunakan adalah kepemimpinan secara bersama-sama atau kolektif.
Tidak lama setelah proses musyawarah, para pendiri langsung bergerak mencari murid sebanyak-banyaknya. Ketika dirasa cukup, maka dimulailah pengajaran dirumah kosong sebelah selatan masjid desa errabu yang dihibahkan oleh KH. Abdul Karim. Permulaan belajar mengajar ini pada hari Senin Wage tanggal 28 April 1958 M.
Para muallim yang mendapat tugas segera mengatur kelas sesuai dengan ruangan yang tersedia. Ruang kelaw yang digunakan ada 7 tempat yaitu disekitar beranda rumah, beberapa ruang tidur dan pendopo.
Pada saat itu, masih belum ada kepala sekolah dan perangkat lainnya, semua dikerjakan secara kolektif. Baikbdari perawatan gedung hingga pemgadaan fasilitas pengajaran menjadi tanggung jawab bersama antara pendiri, muallim dan murid. Semuanya dilakukan secara kekeluargaan.
Polemik ketidak jelasan antara para pemimpin yang tidak terstruktur seperti menajadi masalah dan menjadi kelemahan bagi lembaga ini. Disini hukum alam berlaku, siapa yang punya waktu banyak maka dia yang berpeluang untuk lebih aktif, dan dia juga yang akan disegani oleh masyarakat sekitar.
Baca juga: Kerendahan Hati Kiai Mustandji Setelah Menyalin Kitab Anni'am Fii Nadzmil Hikam Syeikh Khudaifah
Pelajaran yang diajarkan di madrasah ini kebanyakan masih berupa ilmu-ilmu agama, seperti, tauhid, fiqih, nahwu-sharraf, bahasa arab, akhlak, tajwid, khot imla'dan sebagainya. Muallim atau para pengajar pun adalah mereka yang telah disepakati pada hasil musyawarah sebelumnya. Mereka adalah KH. Shadaqah, KH. Shaleh, K. Gazali, KH. Nor bin KH. Sholeh, K. Ishaq bin Yusuf, K. Sadrin bin P. Mukrawi, K. Mustandji bin K. Yusuf, Abd. Rakib bin KH. Sholeh, Wisuja'bin K. Gazali dan Pak Amrin.
Jumlah murid pada masa itu bisa dikatakan cukup banyak. Menurut KH. Shadaqah, tidak sampai 3 bulan dari musyawarab pendirian murid di mashlahatul hidayah ini mencapai kurang lebih 300 orang. Sementara berdasarkan buku induk MI. Mashlahatul hidayah dari tahun 1958-1968 murid di madrasah ini kurang lebih 610 orang. Mereka berasal dari desa errabu, moncek timur, gilang dan ging-ging [Amellya Rizcky/pin]
Keterangan: Diolah dari Buku Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Mashalahatul Hidayah Errabu Bluto Sumenep yang ditulis menjelang peringatan setengah abad Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah Tahun 2008.
0 Komentar