Banner HIMA 2021

Pesantren dan Garansi Moralitas Bangsa

Lailul Ilham. Foto: Dok. Pribadi.

Oleh Lailul Ilham*

Masda.id - Pesantren dapat disebut sebagai model lembaga pendidikan asli Indonesia (indigenous). Sebab, sebagai lembaga pendidikan islam, pesantren berbeda dengan desain pendidikan islam yang ada di Mekkah. Bahkan, dalam pernyataan lain Dhofier menegaskan bahwa konsep pendidikan pesantren memiliki persamaan bentuk dengan model pendidikan Hindu. Hal tersebut tampak pada beberapa unsur dasar diantaranya: sistem pendidikan yang bersifat keagamaan, guru suka rela, dan konstruk etika antara peserta didik dan pendidik yang ketat. Pesantren mulanya dikenal dengan istilah “Pondok Pesantren”, kemudian, dalam perkembangannya lebih dikenal dengan istilah Pondok karena sejak sebelum tahun 1960an, di pusat-pusat berdirinya pesantren seperti di Jawa dan Madura lembaga tersebut lebih dikenal dengan nama Pondok.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang melangsungkan kegiatan belajar-mengajar sebagaimana sekolah formal pada umumya, terdapat civitas pendidikan seperti kepala sekolah, wali kelas, guru, dan kepala bidang lain. Namun, terdapat struktur formal kepesantrenan yang tidak terdapat dilembaga formal lain yaitu tokoh Kiai atau pengasuh sebagai guru sekaligus pimpinan sentral pesantren yang membawahi seluruh unit dan bidang-bidang ekstra kependidikan. Kemudian, ada santri sebagai murid, kitab sebagai mata pelajaran, dan pondok sebagai kelas dan asrama. Selain itu, pesantren memiliki model pendidikan yang khas yaitu durasi pendidikan selama 24 jam, meliputi pendidikan keagamaan, moral, dan sosial. Konsep dasar pesantren itu tradisional karena mulanya pesantren tumbuh dan berkembang di daerah-daerah pedesaan. Situasi tersebut mengafirmasi konsep pesantren yang cenderung kultural, terbuka, sederhana, kekeluargaan, dan sarat kepedulian sosial, sesuai kecenderungan sikap masyarakat desa pada umumnya.

Namun, dalam perkembangannya pesantren harus mengahadapi situasi baru yang dikenal dengan sitilah Modernitas. Modernitas merupakan budaya baru produk peradaban manusia yang sudah masuk dalam bilik-bilik pesantren dan tentu fenomena tersebut merupakan ujian bagi pesantren dalam menjaga komitmen dan mempertahankan originalitas pesantren sebagai produk pendidikan lokal indonesia. Fenomena modernitas merupakan keniscayaan yang mesti dihadapi oleh pesantren, sebagai konsekuensinya pesantren harus mempersiapkan mental santri supaya lebih waspada dan jeli dalam mengantisipasi dampak negatif arus besar tersebut. Sebab, sebagaimana menurut Madjid modernitas membawa pilihan yang ambivalen yaitu satu pilihan yang berpotensi ganda yaitu kebaikan dan keburukan sekaligus atau dalam terminologi kaidah fiqih dikenal dengan istilah mashlahat dan mudarat.

Negosiasi merupakan salah satu strategi untuk tetap melanggengkan nilai-nilai dan prinsip dasar kepesantrenan, negosiasi dapat dilakukan dengan proses adaptasi yaitu keterbukaan pesantren dalam mengafirmasi berbagai bentuk kemajuan, terlebih kemajuan dalam bidang managemen, sistem, sarana dan prasaran pendidikan. Proses adabtasi minimalnya memenuhi dua prinsip dasar yaitu mempertahankan dan membuka, yaitu mempertahankan prinsip dan konsep semula dan terbuka pada model pendidikan baru yang lebih relefan. Sebagaimana prinsip dasar warga Nahdiyyin yaitu al-muhâfazhah `ala al-qadîm as-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah, yang idealnya prinsip tersebut juga mesti diinternalisasi pesantren sebagai basis pendidikan organisasi Nahdlatul Ulama. Sehingga eksistensi pesantren akan tetap kuat dengan sigap pada setiap kemajuan dengan tanpa menghilangkan nilai-nilai dan prinsip dasar kepesantrenan.

Kajian modernitas dalam perspektif pesantren tidak akan keluar dari pembahasan moral, sebab modernitas dikonsepsikan sebagai identitas lain dari simbol degradasi moralitas masyarakat. Pembahasan moral dalam perspektif islam lebih dikenal dengan istilah Akhlaq yaitu implementasi perilaku sesuai norma agama dan susila. Adaptasi pesantren terhadap berbagai kemajuan diharapkan dapat menjaga marwah kepesantrenan serta tetap mampu mencetak santri-santri capable yang kelak mampu mengisis ruang-ruang strategis dalam pengelolaan pemerintahan serta menjadi piont dalam upaya menciptakan relasi sosial yang baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Keberlangsungan pesantren bergantung pada partisipasi masyarakat. Sehingga, pesanten harus berupaya menjawab berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat setempat. Penjelasan sebelumnya menegaskan bahwa pesantren memiliki perhatian serius terhadap pendidikan karakter dan moral bangsa sehingga tidak berlebihan jika dikatakan pesantren merupakan basis pendidikan karakter bangsa. Sebab, pesantren merupakan institusi pendidikan yang konsen menginternalisasi nilai-nilai dan ajaran agama serta pendidikan karakter terhadap para santri. Walaupun tidak semua santri menjadi sebagaimana yang dicita-citakan namun berdasarkan fakta-fakta menunjukkan kontribusi pesantren terhadap pembangunan moralitas bangsa.

Karakteristik pesantren yang pribumi menarik perhatian masyarakat untuk melibatkan anaknya dalam lembaga pendidikan tersebut, secara otomatis situasi ini menjadi peluang besar bagi pesantren untuk menjalankan misi kepesantrenan kaitannya dalam pendidikan karakter santri dan pengembangan moral bangsa. Sesuai tujuan pendidikan pesantren menurut Dhofier meliputi; meningkatkan kualitas moral, meghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan perilaku sesuai norma agama dan sosial. Sehingga, dengan masifnya proses internalisasi nilai-nilai kepesantrenan membentuk pribadi-pribadi santri yang yang ideal yaitu religius, sosialis, dan tentu nasionalis sesuai harapan bangsa dan negara.

Situasi-situasi demikian tidak jarang membangun citra pesantren sebagai lembaga bengkel moral. Sebab, perhatian besar pesantren terhadap perbaikan-perbaikan morali santri. Memperbaiki moral bukan perkara mudah, dibutuhkan kompetensi, loyalitas, dan profesionalitas yang tinggi. Sebab, sistem pendidikan pesantren secara tidak langsung menggantikan tanggung jawab keluarga, orang tua, dan guru dalam mendidik anak. Sebab, pendidikan pesantren berlangsung 24 jam penuh. Dengan peran yang sangat besar tersebut seluruh civitas pesantren harus ekstra keras memformulasikan pola pembinan, pendidikan, dan pengajaran yang apik. Sehingga, mampu menciptakan santri dengan kualitas moral yang tangguh. []

Lailul Ilham, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Alumni Mashlahatul Hidayah Bluto Sumenep.

Posting Komentar

1 Komentar