Banner HIMA 2021

Kepala-Kepala Palestina

Foto diambil dari link MEDGO.ID

Oleh: Wardatuz Zahroh*

            Kembali ku cuci wajah-wajah yang sudah lama karat itu, kuperasi sisa-sisa cairan yang masih lekat di saraf otaknya. Ku jemur wajah-wajah itu menggunakan hanger kesayanganku di kawat yang lurus dengan matahari. Untung, hari ini cuaca sangat panas,  jadi aku bisa lekas mengambilnya kembali agar wajah-wajah itu tidak tumbuh jerawat dan tersiksa karena terlalu kering menghadapi matahari.

***

            "Kau senang, sayang. Kalau kau suka, aku akan mengirimimu beberapa wajah lagi.” Ku baca surat dari suamiku setelah bungkusan plastik besar berisi lima kepala selesai ku buka. Suamiku bekerja sebagai angkatan militer di Israel yang selalu bertugas untuk terus menjajah Palestina.  Sebenarnya, suamiku sendiri tahu kalau aku ini masih keturunan darah Palestina, jadi mungkin cara untuk membahagiakanku adalah dengan cara mengirimiku kepala-kepala penduduk Palestina yang di bungkus dengan plastik besar. Dari situlah, aku tidak terlalu sakit melihat penduduk Palestina terus menerus diteror dan dibunuh, karena setelah itu aku bisa membersihkan wajah-wajah yang bersimbah darah dan selalu ku cuci setiap wajah itu akan karat. Itu semua aku lakukan karena masih peduli dengan masyarakat Palestina. Kepala-kepala itu akan aman bersama istri dari suami seorang militer di israel.

***

            “Sayang, kau benar-benar suka. Ini sudah kepala ke lima puluh sembilan yang ku kirimkan padamu. Kalau kau mau kepala bayi aku juga akan mengirimkannya kepadamu. Hubungi aku kalau kau mau.” Aku sedikit miris membaca surat dari suamiku. Betapa gilanya militer Israel, sampai-sampai kepala bayi pun mereka jadikan sasaran. sudahlah, ku pindahkan kepala-kepala yang ada di kantong plastik itu ke ember untuk kembali ku cuci lalu dijemur ke kawat luar rumah. Di saat mencuci kepala, aku merasa heran pada kepala yang ku cuci satu ini. “tumben kepala yang ku cuci ini mengeluarkan cahaya kenapa?, apa kepala yang suamiku kirimkan ini adalah kepala salah seorang ulama di Palestina yang Israel bunuh dengan sadis?” dengan perasaan yang tergesa-gesa, ku coba selesaikan mencuci kepala itu.

            Nampaknya matahari itu enggan keluar dari persembunyian, sepertinya akan hujan. Tapi hal itu tidak mengurungkan niatku untuk menjemur wajah-wajah. “hei, kenapa kau menjemur wajah-wajah?” sapa tetangga yang sedang lewat di teras rumah. “karena aku peduli pada Palestina”. Jawabku sambil menjemur wajah-wajah. “kau sudah gila!” fonis tetangga cerewet itu lalu pergi seketika.

***

            Sudah empat bulan suamiku tidak memberi kabar dan tidak mengirimiku kepala-kepala. Mungkin dia sibuk dengan anggota tubuh yang lain sehingga lupa dengan kepala. Begitulah pikirku yang sambil memandang jenuh kepala-kepala yang sudah kering di gudang 3x4 meter, rumahku. Mungkin tak baik berdiam saja di rumah. Lebih baik aku keluar rumah untuk menghirup udara segar. Dan setelah aku selesai membuka pintu, ketepatan ada bapak-bapak yang biasa mengantarkan barang dari suamiku.”permisi, ini ada titipan!” ucap bapak itu. Tanpa bertanya dari siapa aku langsung mengambilnya dan langsung masuk ke kamar. Tak lupa ku ucapkan terima kasih dulu kepada bapak itu. “terima kasih, bapak!”. Aku kembali dilanda heran. Kenapa suamiku mengirimkan kado, kok bukan plastik besar. Demi menyelesaikan rasa heranku, langsung ku buka saja bungkusan kado itu dan ternyata, isi kado itu adalah sama-sama kepala. Bedanya kepala itu adalah kepala suamiku sendiri. Betapa aku kaget melihat hadiah mengerikan itu. Aku langsung membaca surat yang ada di atas kepala suamiku.” Ini kepala suamimu yang berkhianat pada kami. Sengaja kami kirimkan padamu agar kamu tak gelisah memikirkannya”. Setelah membaca surat dari ketua militer itu aku langsung langsung mengerti dengan apa yang terjadi.

Kepala suamiku, ku gantung di tengah-tengah jendela kamar sebagai pajangan agar aku bisa mengenangnya setiap hari. “ahhhh. Suamiku, katanya mau mengirimku kepala bayi,tapi kenapa kau malah kepalamu yang tersaji”. Ucapku sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Sumenep, 02 september 2021

 

 

 


Wardatuz Zahroh, alumni Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah dan sedang studi lanjut di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIIKA) Guluk-Guluk Sumenep.

Posting Komentar

0 Komentar