Oleh:
Wardatuz Zahroh*
Kembali ku cuci
wajah-wajah yang sudah lama karat itu, kuperasi sisa-sisa cairan yang masih
lekat di saraf otaknya. Ku jemur wajah-wajah itu menggunakan hanger
kesayanganku di kawat yang lurus dengan matahari. Untung, hari ini cuaca sangat
panas, jadi aku bisa lekas mengambilnya
kembali agar wajah-wajah itu tidak tumbuh jerawat dan tersiksa karena terlalu
kering menghadapi matahari.
***
"Kau senang, sayang.
Kalau kau suka, aku akan mengirimimu beberapa wajah lagi.” Ku baca surat dari
suamiku setelah bungkusan plastik besar berisi lima kepala selesai ku buka.
Suamiku bekerja sebagai angkatan militer di Israel yang selalu bertugas untuk
terus menjajah Palestina. Sebenarnya,
suamiku sendiri tahu kalau aku ini masih keturunan darah Palestina, jadi
mungkin cara untuk membahagiakanku adalah dengan cara mengirimiku kepala-kepala
penduduk Palestina yang di bungkus dengan plastik besar. Dari situlah, aku
tidak terlalu sakit melihat penduduk Palestina terus menerus diteror dan dibunuh,
karena setelah itu aku bisa membersihkan wajah-wajah yang bersimbah darah dan
selalu ku cuci setiap wajah itu akan karat. Itu semua aku lakukan karena masih
peduli dengan masyarakat Palestina. Kepala-kepala itu akan aman bersama istri dari suami seorang militer di israel.
***
“Sayang, kau benar-benar
suka. Ini sudah kepala ke lima puluh sembilan yang ku kirimkan padamu. Kalau
kau mau kepala
bayi aku juga akan mengirimkannya kepadamu. Hubungi aku kalau kau mau.” Aku sedikit
miris membaca surat dari suamiku. Betapa gilanya militer Israel,
sampai-sampai kepala bayi pun mereka jadikan sasaran. sudahlah, ku pindahkan
kepala-kepala yang ada di kantong plastik itu ke ember untuk kembali ku cuci lalu dijemur
ke kawat luar rumah. Di saat mencuci kepala, aku merasa heran pada kepala yang ku
cuci satu ini. “tumben kepala yang ku cuci ini
mengeluarkan cahaya kenapa?, apa kepala yang suamiku kirimkan ini adalah kepala salah
seorang ulama di Palestina yang Israel bunuh dengan sadis?” dengan perasaan
yang tergesa-gesa, ku coba selesaikan mencuci kepala itu.
Nampaknya matahari itu
enggan keluar dari persembunyian, sepertinya akan hujan. Tapi hal itu tidak
mengurungkan niatku untuk menjemur wajah-wajah. “hei, kenapa kau menjemur
wajah-wajah?” sapa tetangga yang sedang lewat di teras rumah. “karena aku peduli pada Palestina”.
Jawabku sambil menjemur wajah-wajah. “kau sudah gila!” fonis tetangga cerewet
itu lalu pergi seketika.
***
Sudah empat bulan suamiku
tidak memberi kabar dan tidak mengirimiku kepala-kepala. Mungkin dia sibuk
dengan anggota tubuh yang lain sehingga lupa dengan kepala. Begitulah pikirku
yang sambil memandang jenuh kepala-kepala yang sudah kering di gudang 3x4 meter,
rumahku. Mungkin tak baik berdiam saja di rumah. Lebih baik aku keluar rumah
untuk menghirup udara segar. Dan setelah aku selesai membuka pintu, ketepatan
ada bapak-bapak yang biasa mengantarkan barang dari
suamiku.”permisi, ini ada titipan!” ucap bapak itu. Tanpa bertanya dari siapa
aku langsung mengambilnya dan langsung masuk ke kamar. Tak lupa ku ucapkan
terima kasih dulu kepada bapak itu. “terima kasih, bapak!”. Aku kembali dilanda
heran. Kenapa suamiku mengirimkan kado, kok bukan plastik besar. Demi
menyelesaikan rasa heranku, langsung ku buka saja bungkusan kado itu dan
ternyata, isi kado itu adalah sama-sama kepala. Bedanya kepala itu adalah
kepala suamiku sendiri. Betapa aku kaget melihat hadiah mengerikan itu. Aku
langsung membaca surat yang ada di atas kepala suamiku.” Ini kepala suamimu
yang berkhianat pada kami. Sengaja kami kirimkan padamu agar kamu tak gelisah
memikirkannya”. Setelah membaca surat dari ketua militer itu aku langsung
langsung mengerti dengan apa yang terjadi.
Kepala suamiku, ku gantung di tengah-tengah jendela kamar sebagai pajangan
agar aku bisa mengenangnya setiap hari. “ahhhh. Suamiku, katanya mau mengirimku
kepala bayi,tapi kenapa kau malah kepalamu yang tersaji”. Ucapku sambil tertawa
terkekeh-kekeh.
Sumenep, 02
september 2021
|
Wardatuz Zahroh, alumni Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah dan sedang studi lanjut di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIIKA) Guluk-Guluk Sumenep. |
0 Komentar