Banner HIMA 2021

Rahim Semua Manusia

 

foto: brilio.net

Oleh: Hasan Tarowan*

Tanah. Ia seumpama rahim seorang ibu yang menyambut dan memeluk siapa saja tanpa bertanya. Tanah yang diatasnya langkah-langkah kaki kita mengenal cinta pertamanya. Semua manusia berasal dari tanah. Mereka lahir, bercinta, dan memudar di dalamnya.

Hal inilah yang menjadi kesetaraan realitas dasar di antara seluruh manusia. Perbedaan konkret antar-manusia hanyalah terletak pada tataran kesadaran.

Perbedaan kesadaran masing-masing individu yang kemudian menjadi penentu perbedaan sikap dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia, apakah kehidupannya penuh kedamaian dan laku spiritual atau sebaliknya.

Hidup, dalam beberapa bagiannya, memang sulit dan tidak tertebak. Adakalanya hidup itu menyenangkan. Penuh dengan hal-hal yang membuat kita takjub sekaligus menggairahkan. Pertukaran ide-ide yang menggoda dan kisah cinta yang tak ingin segera hilang.

Pada sisi lain, kehidupan adalah penderitaan-penderitaan yang ingin segera kita lepas. Keindahan yang tak mungkin kita dapatkan di saat kita berada dalam kondisi yang paling memilukan. Namun, kita harus saling bersepakat untuk hal ini: hidup adalah tanda tanya yang tak pernah tuntas hanya dengan satu jawaban. Sebab hidup di dunia adalah sebuah perjalanan berguru pada diri sendiri.

Tangis dan tawa dalam hidup adalah sesuatu yang wajar. Seseorang pasti pernah merasakan sedih dan bahagia. Dan kita memang perlu merasakan keduanya. Tetapi kita tidak boleh larut dan terjebak dalam duka, sehingga kita tidak mampu merayakan kehidupan dengan kebahagiaan dan penuh rasa syukur.

"Sebenarnya apa yang kita cari dalam hidup ini?"

Sejak awal saya sadar jika pertanyaan ini sering kali luput dari jangkauan kepekaan batin kita sehari-hari. Pertanyaan semacam ini  hanya akan muncul dari kedalaman hati yang paling sunyi.

Sementara itu, hari-hari kita telah menjadi seumpama mesin-mesin yang tak pernah berhenti menekan tombol-tombol keinginan hawa nafsu untuk menguasai gemerlap dunia: ingin menang sendiri, ingin menguasai bumi ini sendiri, ingin kaya sendiri, dan ingin masuk ke surga itu sendiri.

Padahal langit mengisyaratkan hidup sebagai pelangi dan tanah menghamparkan rupa-rupa bunga. Bukankah Allah menciptakan Adam dari gumpalan tanah yang diambil dari seluruh tempat yang ada di bumi? Semua manusia berasal dari bermacam-macam tanah. Tanah yang menyatukan bahasa dan bangsa.

Dalam konteks ini, saya tidak akan melihat tanah hanya sebagai benda mati semata, melainkan sosok pribadi yang hidup dan penuh pengayoman, penuh kasih sayang. Sebab cinta hadir dalam banyak bahasa dan bentuk, dan tanah merupakan wujud cinta yang lain. Tanah menjadi wadah yang dianugrahkan Tuhan sebagai tempat bermacam-macam bentuk berupa kehidupan.

Dalam bahasa lain, menyelami setiap anugerah yang diberi tanah sebagai tempat kehidupan dan berpulang, harus disertai rasa terima kasih yang dalam. Dengan demikian, setiap perjalanan hidup akan menjadi bahan renungan yang akan membawa kita pada satu hubungan yang harmonis dengan alam: tanah sebagai ibu.

Semua yang ada bermula dari sang pencipta. Tidak ada peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Ada ketentuan Tuhan di mana setiap orang menjumpai peristiwa-peristiwa yang bisa mengantarkannya pada perubahan kesadaran menuju yang lebih tinggi. Kesadaran akan kenyataan bahwa setiap peristiwa yang terjadi di dunia merupakan manifestasi dari sang khalik.

Perjumpaan pembaca dengan tulisan ini pun bukan sebuah kebetulan. Melainkan bagian dari takdir yang harus dijumpai, atau menjadi salah satu rancangan sang pencipta untuk menyusun perjalanan spiritual dan kehidupan yang membacanya.

Seandainya kita mau membaca pelan-pelan setiap peristiwa yang terjadi dengan baik, terdapat begitu banyak tanda, simbol, dan bahasa. Bahasa-bahasa yang memungkinkan kita melihat segala sesuatu dengan lebih jernih. Mengetahui apa yang belum kita ketahui sebelumnya. Merasakan apa yang mungkin kita rasakan. Atau menjelaskan apa yang kita anggap tidak mungkin.

Namun, manusia dengan keangkuhan dan kesombongannya telah memilih sendiri bagi dirinya satu bentuk bahasa. Bahasa yang tak mungkin diucapkan, kecuali dengan ledakan bom dan ayunan pedang.

Sumenep, April 2021.

*Hasan Tarowan, Alumni Pondok Pesantren Mashlahatu Hidayah Errabu Bluto Sumenep.

Posting Komentar

0 Komentar