Oleh: Hasan Tarowan*
Tanah. Ia seumpama rahim seorang ibu yang
menyambut dan memeluk siapa saja tanpa bertanya. Tanah yang diatasnya
langkah-langkah kaki kita mengenal cinta pertamanya. Semua manusia berasal dari
tanah. Mereka lahir, bercinta, dan memudar di dalamnya.
Hal inilah yang menjadi kesetaraan realitas
dasar di antara seluruh manusia. Perbedaan konkret antar-manusia hanyalah
terletak pada tataran kesadaran.
Perbedaan kesadaran masing-masing individu yang
kemudian menjadi penentu perbedaan sikap dalam menjalin hubungan dengan sesama
manusia, apakah kehidupannya penuh kedamaian dan laku spiritual atau
sebaliknya.
Hidup, dalam beberapa bagiannya, memang sulit
dan tidak tertebak. Adakalanya hidup itu menyenangkan. Penuh dengan hal-hal
yang membuat kita takjub sekaligus menggairahkan. Pertukaran ide-ide yang
menggoda dan kisah cinta yang tak ingin segera hilang.
Pada sisi lain, kehidupan adalah
penderitaan-penderitaan yang ingin segera kita lepas. Keindahan yang tak
mungkin kita dapatkan di saat kita berada dalam kondisi yang paling memilukan.
Namun, kita harus saling bersepakat untuk hal ini: hidup adalah tanda tanya
yang tak pernah tuntas hanya dengan satu jawaban. Sebab hidup di dunia adalah
sebuah perjalanan berguru pada diri sendiri.
Tangis dan tawa dalam hidup adalah sesuatu yang
wajar. Seseorang pasti pernah merasakan sedih dan bahagia. Dan kita memang
perlu merasakan keduanya. Tetapi kita tidak boleh larut dan terjebak dalam
duka, sehingga kita tidak mampu merayakan kehidupan dengan kebahagiaan dan
penuh rasa syukur.
"Sebenarnya apa yang kita cari dalam hidup
ini?"
Sejak awal saya sadar jika pertanyaan ini
sering kali luput dari jangkauan kepekaan batin kita sehari-hari. Pertanyaan
semacam ini hanya akan muncul dari
kedalaman hati yang paling sunyi.
Sementara itu, hari-hari kita telah menjadi
seumpama mesin-mesin yang tak pernah berhenti menekan tombol-tombol keinginan
hawa nafsu untuk menguasai gemerlap dunia: ingin menang sendiri, ingin
menguasai bumi ini sendiri, ingin kaya sendiri, dan ingin masuk ke surga itu
sendiri.
Padahal langit mengisyaratkan hidup sebagai
pelangi dan tanah menghamparkan rupa-rupa bunga. Bukankah Allah menciptakan
Adam dari gumpalan tanah yang diambil dari seluruh tempat yang ada di bumi?
Semua manusia berasal dari bermacam-macam tanah. Tanah yang menyatukan bahasa
dan bangsa.
Dalam konteks ini, saya tidak akan melihat
tanah hanya sebagai benda mati semata, melainkan sosok pribadi yang hidup dan
penuh pengayoman, penuh kasih sayang. Sebab cinta hadir dalam banyak bahasa dan
bentuk, dan tanah merupakan wujud cinta yang lain. Tanah menjadi wadah yang
dianugrahkan Tuhan sebagai tempat bermacam-macam bentuk berupa kehidupan.
Dalam bahasa lain, menyelami setiap anugerah
yang diberi tanah sebagai tempat kehidupan dan berpulang, harus disertai rasa
terima kasih yang dalam. Dengan demikian, setiap perjalanan hidup akan menjadi
bahan renungan yang akan membawa kita pada satu hubungan yang harmonis dengan
alam: tanah sebagai ibu.
Semua yang ada bermula dari sang pencipta.
Tidak ada peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Ada ketentuan Tuhan di mana
setiap orang menjumpai peristiwa-peristiwa yang bisa mengantarkannya pada
perubahan kesadaran menuju yang lebih tinggi. Kesadaran akan kenyataan bahwa
setiap peristiwa yang terjadi di dunia merupakan manifestasi dari sang khalik.
Perjumpaan pembaca dengan tulisan ini pun bukan
sebuah kebetulan. Melainkan bagian dari takdir yang harus dijumpai, atau
menjadi salah satu rancangan sang pencipta untuk menyusun perjalanan spiritual
dan kehidupan yang membacanya.
Seandainya kita mau membaca pelan-pelan setiap
peristiwa yang terjadi dengan baik, terdapat begitu banyak tanda, simbol, dan
bahasa. Bahasa-bahasa yang memungkinkan kita melihat segala sesuatu dengan
lebih jernih. Mengetahui apa yang belum kita ketahui sebelumnya. Merasakan apa
yang mungkin kita rasakan. Atau menjelaskan apa yang kita anggap tidak mungkin.
Namun, manusia dengan keangkuhan dan
kesombongannya telah memilih sendiri bagi dirinya satu bentuk bahasa. Bahasa
yang tak mungkin diucapkan, kecuali dengan ledakan bom dan ayunan pedang.
Sumenep,
April 2021.
*Hasan Tarowan, Alumni Pondok Pesantren Mashlahatu Hidayah Errabu Bluto Sumenep.
0 Komentar