Banner HIMA 2021

Kelela Kianwa Nita

 


foto diambil dari id.quora.com

Di sebuah gubuk tua di sudut keraton, hidup seorang perempuan bernama Ajeng bersama Karto yang tak lain adalah suaminya. Karto termasuk prajurit khusus keraton. Menikah dengan seorang prajurit tentu bukan pilihan menguntungkan bagi Ajeng, sebab ia harus banyak menjalani hari-hari sendiri dan waktu Karto lebih banyak dihabiskan di lingkungan keraton, mengabdi dan melaksanakan tugas kerajaan yang diemban.

Sebagaimana malam-malam yang lain, Ajeng selalu menunggu kepulangan suaminya. Pada suatu malam yang larut, tepat malam ketiga suaminya tak pulang. Ajeng duduk di kursi depan rumah, terus memandangi ujung halaman sambil berharap, namun suaminya tak kunjung datang. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang tak nyaman pada tubuhnya. “mungkin ini karena kecapean” pikirnya. Akhirnya masuk rumah dan istirahat lebih awal supaya besok tubuhnya kembali bugar.

Di pagi buta, Ajeng bangun berencana beraktiviats seperti biasa, namun keadaan semakin parah, kepalanya pusing dan perutnya terasa mual. Suaminya belum juga pulang, namun Ajeng tak pernah mengutuk kenyataan. Hari beranjak siang, kali ini Ajeng tak sekedar mual tapi muntah-muntah. Sesuatu yang semula terasa biasa di indera, tiba-tiba menjadi tidak biasa. Berkali-kali ia muntah, keringat dingin, dan tak bertenaga. Kali ini ia benar-benar membutuhkan kedatangan Karto, namun Ajeng tidak sama sekali punya inisiatif untuk meminta orang menjemput suaminya.

Sehari-hari Ajeng menanggung sakit itu sendirian. Tiba-toba merasa letih dan muntah yang tak berkesudahan. Kemudian pada hari kedua sakitnya, Ajeng punya pikiran lain tentang sakit yang dideritanya. “apa jangan-jangan aku hamil..!” pikirnya. Pikiran-pikiran itu terus berhamburan di kepalanya, ia tersu mempelajari dan mengamati keadaan yang menimpa dirinya, lalu ia semakin yakin bahwa sakitnya kali karena hamil. Setelah keyakinan Ajeng bulat, betapa sakit yang ia derita beberapa hari lalu seketika berubah menjadi kenikmatan yang tiada tara, sebab ia sangat bahagia telah mengandung anak Karto, seorang prajurit tangguh kebanggan keraton.

Kali ini, hasrat bertemu Karto tidak dapat dibendung lagi. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu dan memberitahukan kabar bahagia itu kepada lelaki sejati yang berhak mendengarnya pertama kali. Satu hari berlalu dalam penantian, sedang Karto tak kunjung pulang.

Kali ini sudah genap hari keenam suaminya tak pulang. Dari kejauhan terlihat seorang pesuruh istana berjalan menuju rumahnya. Orang itu datang mengabarkan bahwa Karto tidak bisa pulang karena diperintah memimpin pasukan perang ke daerah perbatasan, “kemungkinan dua hari disana, dan Karto baru pulang” ungkapnya lalu pergi. Sampai detik ini, Ajeng tidak merasa hawatir sedikitpun, sebab segenap hatinya tidak pernah meragukan keberanian dan ketangguhan suaminya. Malah ia berpikir bahwa semakin terlambat suaminya mendengar kabar kehamilan itu, maka tentu akan semakin bahagian saat mendengarnya.

Peperangan itu berlangsung sekaligus berlalu. 

Pada penantian yang hampir tak tertahankan, di malam ketujuh tepat keesokan harinya Karto akan datang, Ajeng sudah menyiapkan segalanya. Dari sejak pagi buta, rumah mulai ditata, perabotan dirapikan, kursi dan meja dibersihkan, halaman di luar dan dalam di sapu, serta cadang makanan yang terakhir Ajeng buat masakan yang paling istimewa, sengaja untuk dihidangkan pada orang terhormat yang sudah ia tunggu sekian lamanya. Pagi beranjak siang, semua pekerjaan telah selesai, Ajeng bergegas mandi dan bersolek.

Meski hatinya terlampau perkasa tapi lelah pada tubuhnya tak bisa dihindari. Usaha keras sejak dari semalam sampai dini hari tentu sangat menguras energi, kali ini semuanya sudah kelar, tinggal menunggu tamu kehormatan, untuk melepas rindu dan ceritakan kabar bahagia yang sudah sejak lama dnantikan. Sembari menunggu, sejenak Ajeng rebahkan tubuhnya di kursi.

“Istriku, aku kembali padamu. Saat itu kamu sudah tak sendiri, tapi berdua bersama matahari. Rayakanlah kepulangan dan kemenanganku. Besarkan ia dan jadkan ia lelaki…”

“tok..tok..tok” suara pintu memecah mimpi—membangunkan Ajeng dari tidur lelapnya, ia bergeas berdiri, lalu sedikit menyapu wajahnya. Di depan pintu, ia membuka hati sebab yang akan datang adalah tamu hatinya. Setelah pintu dibuka; “maaf, Karto tidak akan kembali lagi. Dia meninggal semalam dalam peperangan”, kata lelaki dengan pakain lusuh bekas berperang. Mendengar pernyataan lelaki itu, serasa rotasi bumi berhenti, seluruh gravitasi bertumpu di tubuh Ajeng. Wajah yang semula segar tiba-tiba sayu, pandangannya kosong. Lalu Ajeng teringat pada mimpi beberapa saat yang lalu.  

“seberat inikah…”, seru Ajeng sambil mengusap wajahnya. Kemudian tubuh semakin terasa lemas, entah kepada siapa segenap ketidak percayaan dan amarah itu akan ditumpahkan. Terlihat matanya mulai berkedip cepat, pandangan perlahan merunduk, pipinya bergerak-gerak pertanda akan ada air dari matanya. “setiap yang pergi, pasti kembali”,  Ajeng ingat pesan yang pasti dikatakan Karto setiap sebelum berperang, walau pesan itu tak sempat didengar pada peperangan suaminya yang terakhir.

Melihat Ajeng yang sudah tampak putus asa dan seolah tidak punya harapan hidup kembali, lelaki pembawa berita itu angkat bahu dan berharap Ajeng bisa dibujuk untuk membuka hati padanya. Lelaki itu coba meminta Ajeng untuk tegar dan tidak terlarut dalam kesedihan karena suaminya tak akan kembali lagi (meyakinkan). Mendengar itu, Ajeng mengangkat wajah lalu berkata “maaf, aku tidak merasa kehilangan siapapun, termasuk suamiku”, lelaki itu kaget. Dan ingat satu hal; “Suamiku telah mengabarkan ketidak-pulangannya, sebelum kamu sampai di sini” menegaskan.

Lelaki itu terperanjat tak bisa berkata-kata, segala maksud yang telah disiapkan terlupa seketika. Tiba-tiba dengan khidmat Ajeng memintanya masuk dan mempersilahkan menikmati hidangan di atas mejayang sudah disiapkan. Permintaan itu seperti membawa angin segar, seperti ada kemungkinan-kemungkinan lain yang terbuka, sambil basa-basi ia pura-pura menanyakan prihal hidangan yang sudah siap. Tanpa menunggu Sufiah tegas menjawab “sebelum pergi, mas Karto menyuruhku merayakan kemenangannya, dan masakan ini sengaja ku hidangkan untukmu karena kamu yang terakhir bersama suamiku. Ini sebagai bukti dan baktiku padanya”. (sambil tersenyum)

Begitu kuat hati Sufiah kepada suaminya. Setelah mendengar jawaban tegas dari Sufiah, si lelaki kesedak saat hedak mencicipi hidangan, dengan gelagapan si lak-laki berusaha membersihkan meja. Tubuhnya perlahan gemetar, hidangan terasa tawar supaya tidak ketahuan ia bermaksud pulang dan segera pamitan. Segera Sufiah mendesak untuk doakan suaminya, tapi si lelaki tak bersedia. Lalu Sufiah mengangkat tangan dan memejamkan matanya “Suami-ku, sesuai wasiatmu aku telah rayakan kemenangan-mu, akan ku besarkan anak ini menjadi lelaki, dan...”. Mata Sufiah sedang terpejam, se lalaki melirik ke arah pintu, lalu perlahan bergegas keluar dan pergi.

Yogyakarta, 30 Maret 2014

*Lailul Ilham, Alumni Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah. Mulanya cerita ini ditulis untuk event “menulis perempuan 2014” pada momentum hari kartini 2014 lalu.


Posting Komentar

0 Komentar