Di sebuah gubuk
tua di sudut keraton, hidup seorang perempuan bernama Ajeng bersama Karto yang
tak lain adalah suaminya. Karto termasuk prajurit khusus keraton. Menikah
dengan seorang prajurit tentu bukan pilihan menguntungkan bagi Ajeng, sebab ia
harus banyak menjalani hari-hari sendiri dan waktu Karto lebih banyak
dihabiskan di lingkungan keraton, mengabdi dan melaksanakan tugas kerajaan yang
diemban.
Sebagaimana
malam-malam yang lain, Ajeng selalu menunggu kepulangan suaminya. Pada suatu
malam yang larut, tepat malam ketiga suaminya tak pulang. Ajeng duduk di kursi
depan rumah, terus memandangi ujung halaman sambil berharap, namun suaminya tak
kunjung datang. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang tak nyaman pada tubuhnya.
“mungkin ini karena kecapean” pikirnya. Akhirnya masuk rumah dan istirahat
lebih awal supaya besok tubuhnya kembali bugar.
Di pagi buta,
Ajeng bangun berencana beraktiviats seperti biasa, namun keadaan semakin parah,
kepalanya pusing dan perutnya terasa mual. Suaminya belum juga pulang, namun
Ajeng tak pernah mengutuk kenyataan. Hari beranjak siang, kali ini Ajeng tak
sekedar mual tapi muntah-muntah. Sesuatu yang semula terasa biasa di indera,
tiba-tiba menjadi tidak biasa. Berkali-kali ia muntah, keringat dingin, dan tak
bertenaga. Kali ini ia benar-benar membutuhkan kedatangan Karto, namun Ajeng
tidak sama sekali punya inisiatif untuk meminta orang menjemput suaminya.
Sehari-hari
Ajeng menanggung sakit itu sendirian. Tiba-toba merasa letih dan muntah yang
tak berkesudahan. Kemudian pada hari kedua sakitnya, Ajeng punya pikiran lain
tentang sakit yang dideritanya. “apa jangan-jangan aku hamil..!” pikirnya.
Pikiran-pikiran itu terus berhamburan di kepalanya, ia tersu mempelajari dan
mengamati keadaan yang menimpa dirinya, lalu ia semakin yakin bahwa sakitnya
kali karena hamil. Setelah keyakinan Ajeng bulat, betapa sakit yang ia derita
beberapa hari lalu seketika berubah menjadi kenikmatan yang tiada tara, sebab
ia sangat bahagia telah mengandung anak Karto, seorang prajurit tangguh
kebanggan keraton.
Kali ini, hasrat
bertemu Karto tidak dapat dibendung lagi. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu
dan memberitahukan kabar bahagia itu kepada lelaki sejati yang berhak
mendengarnya pertama kali. Satu hari berlalu dalam penantian, sedang Karto tak
kunjung pulang.
Kali ini sudah
genap hari keenam suaminya tak pulang. Dari kejauhan terlihat seorang pesuruh
istana berjalan menuju rumahnya. Orang itu datang mengabarkan bahwa Karto tidak
bisa pulang karena diperintah memimpin pasukan perang ke daerah perbatasan,
“kemungkinan dua hari disana, dan Karto baru pulang” ungkapnya lalu pergi.
Sampai detik ini, Ajeng tidak merasa hawatir sedikitpun, sebab segenap hatinya
tidak pernah meragukan keberanian dan ketangguhan suaminya. Malah ia berpikir
bahwa semakin terlambat suaminya mendengar
kabar kehamilan itu, maka tentu akan semakin bahagian saat mendengarnya.
Peperangan itu berlangsung sekaligus berlalu.
Pada penantian yang hampir tak tertahankan, di malam ketujuh
tepat keesokan harinya Karto akan datang, Ajeng sudah menyiapkan segalanya.
Dari sejak pagi buta, rumah mulai ditata, perabotan dirapikan, kursi dan meja
dibersihkan, halaman di luar dan dalam di sapu, serta cadang makanan yang terakhir
Ajeng buat masakan yang paling istimewa, sengaja untuk dihidangkan pada orang
terhormat yang sudah ia tunggu sekian lamanya. Pagi beranjak siang, semua
pekerjaan telah selesai, Ajeng bergegas mandi dan bersolek.
Meski hatinya terlampau perkasa tapi lelah pada tubuhnya
tak bisa dihindari. Usaha keras sejak dari semalam sampai dini hari tentu
sangat menguras energi, kali ini semuanya sudah kelar, tinggal menunggu tamu
kehormatan, untuk melepas rindu dan ceritakan kabar bahagia yang sudah sejak
lama dnantikan. Sembari menunggu, sejenak Ajeng rebahkan tubuhnya di kursi.
“Istriku, aku kembali padamu. Saat itu kamu sudah tak
sendiri, tapi berdua bersama matahari. Rayakanlah kepulangan dan kemenanganku.
Besarkan ia dan jadkan ia lelaki…”
“tok..tok..tok” suara pintu memecah mimpi—membangunkan Ajeng
dari tidur lelapnya, ia bergeas berdiri, lalu sedikit menyapu wajahnya. Di depan
pintu, ia membuka hati sebab yang akan datang adalah tamu hatinya. Setelah
pintu dibuka; “maaf, Karto tidak akan kembali lagi. Dia meninggal semalam dalam
peperangan”, kata lelaki dengan pakain lusuh bekas berperang. Mendengar pernyataan
lelaki itu, serasa rotasi bumi berhenti, seluruh gravitasi bertumpu di tubuh Ajeng.
Wajah yang semula segar tiba-tiba sayu, pandangannya kosong. Lalu Ajeng teringat
pada mimpi beberapa saat yang lalu.
“seberat inikah…”, seru Ajeng sambil mengusap wajahnya.
Kemudian tubuh semakin terasa lemas, entah kepada siapa segenap ketidak
percayaan dan amarah itu akan ditumpahkan. Terlihat matanya mulai berkedip cepat,
pandangan perlahan merunduk, pipinya bergerak-gerak pertanda akan ada air dari
matanya. “setiap yang pergi, pasti kembali”,
Ajeng ingat pesan yang pasti dikatakan Karto setiap sebelum berperang, walau
pesan itu tak sempat didengar pada peperangan suaminya yang terakhir.
Melihat Ajeng yang sudah tampak putus asa dan seolah tidak
punya harapan hidup kembali, lelaki pembawa berita itu angkat bahu dan berharap
Ajeng bisa dibujuk untuk membuka hati padanya. Lelaki itu coba meminta Ajeng
untuk tegar dan tidak terlarut dalam kesedihan karena suaminya tak akan kembali
lagi (meyakinkan). Mendengar itu, Ajeng mengangkat wajah lalu berkata “maaf, aku
tidak merasa kehilangan siapapun, termasuk suamiku”, lelaki itu kaget. Dan
ingat satu hal; “Suamiku telah mengabarkan ketidak-pulangannya, sebelum kamu
sampai di sini” menegaskan.
Lelaki itu terperanjat tak bisa berkata-kata, segala
maksud yang telah disiapkan terlupa seketika. Tiba-tiba dengan khidmat Ajeng memintanya
masuk dan mempersilahkan menikmati hidangan di atas mejayang sudah disiapkan. Permintaan
itu seperti membawa angin segar, seperti ada kemungkinan-kemungkinan lain yang
terbuka, sambil basa-basi ia pura-pura menanyakan prihal hidangan yang sudah
siap. Tanpa menunggu Sufiah tegas menjawab “sebelum pergi, mas Karto menyuruhku
merayakan kemenangannya, dan masakan ini sengaja ku hidangkan untukmu karena kamu
yang terakhir bersama suamiku. Ini sebagai bukti dan baktiku padanya”. (sambil
tersenyum)
Begitu kuat hati Sufiah kepada suaminya. Setelah mendengar
jawaban tegas dari Sufiah, si lelaki kesedak saat hedak mencicipi hidangan,
dengan gelagapan si lak-laki berusaha membersihkan meja. Tubuhnya perlahan
gemetar, hidangan terasa tawar supaya tidak ketahuan ia bermaksud pulang dan segera
pamitan. Segera Sufiah mendesak untuk doakan suaminya, tapi si lelaki tak
bersedia. Lalu Sufiah mengangkat tangan dan memejamkan matanya “Suami-ku, sesuai
wasiatmu aku telah rayakan kemenangan-mu, akan ku besarkan anak ini menjadi
lelaki, dan...”. Mata Sufiah sedang terpejam, se lalaki melirik ke arah pintu,
lalu perlahan bergegas keluar dan pergi.
Yogyakarta, 30 Maret 2014
*Lailul Ilham, Alumni Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah. Mulanya cerita ini ditulis
untuk event “menulis perempuan 2014” pada momentum hari
kartini 2014 lalu.
0 Komentar