Pagi yang
sangat indah, aku pergi kesekolah, 06.30. Aku sampai di gerbang sekolah, lalu
mulai masuk dan melangkahkan kakiku menuju tempat dimana aku memperoleh
pengetahuan. Tak jauh di depan pintu gerbang, tanpa sengaja aku benturan dengan…
dengan Ariel, cowok yang dingin menurutku. Aku segera bangkit dari tempat jatuhku
dan membersihkan baju yang agak kotor. Ariel menjulurkan tangannya, “Syila (tersenyum)..
maaf, ya…!” hanya satu kata darinya, lalu ia pun pergi keluar gerbang.
Senyumannya mulai hilang, ia pun mengangkat bahu, dan melanjutkan perjalanannya
menuju kelas. Sudah ada banyak siswa yang datang, aku berjalan masuk kelas,
seperti biasa aku disambut riuh teman sekelas, sibuk beradu cerita dengan teman
terdekat. Senyum kian kulayangkan, tawa kencang atau teriakan geli entah
berasal dari siapa menjadi penghias kedatanganku.
Tidak berselang
lama kemudian bel berbunyi, bersamaan dengan kedatangan guru, pelajaran berlangsung
35 menit, kemudian masuk jam istirahat. aku bergegas menuju kantin karna
perutku keroncongan. Aku memilih duduk dekat jendela, sambil melihat keadaan di
luar. Aku pesan mie bakso pada Bu Khilda yang kebetulan penjaga kantin di sisni.
Aku duduk sendirian sambil mengetuk– mengetuk meja menunggu pesanan datang.
Satu menit
kemudian makanan pun datang, “selamat menikmati”. Kata Bu Khilda sambil
berlalu. Ketika aku ingin menyantap makanan di depanku, “tiba-tiba Ariel datang
menghampiri lalu duduk di kursi tepat di depanku. Aku mulai gak mood makan. “hai…”
Ariel menyapaku lebih dulu. Aku segera menjawab. “hai...”. Syila heran karena
baru kali ini Ariel bertegur sapa dengannya dan menyapanya lebih dulu.
“tiba-tiba terdengar cekikikan dari Ariel, “kenapa tertawa...?” Tanya Syila
heran, “ada yang aneh ya...?” Tanyanya lagi, ia terasa gugup. “enggak… enggak.
Kamu hanya terlihat cantik ajha”. Door… gemuruh jantung Syila membahana.
Sepertinya ia mulai salting dan kedua pipinya perlahan memerah. “oh… tuhan” ia
membatin sambil tersenyum malu. “kok senyumnya rada-rada gitu?”. Tanya Ariel
menatap Syila sambal menapah dagunya dengan tangan kirinya di atas meja. Ia
tersenyum miris. “buruan makan, keburu dingin makanannya…!” kata Ariel. “oh… ehm…
i… iya” Jawab Syila, ia lalu mengaduk–ngaduk mie bakso yang uapnya mulai
menghilang. Ia mulai makan. Ariel tersenyum menatap cara Syila makan. Syila
lahap sekali. Sepasang mata indah di depan Syila menatapnya miris. Kring… kring…
kring…, “eeh… udah bel tuuh, kita masuk yuk?” ajak Ariel. Syila hanya termangu
menatap Ariel berlalu dari hadapannya. Ia pun mulai menuju kelas.
Satu minggu
kemudian, berawal dari kejadian saling sapa itu membuat Syila merasa bahagia
dan membuat pikirannya menjadi kacau saat ini. Tapi ada yang aneh saat ini, di sekolah,
selama lima hari Syila tidak sama sekali menjumpai Ariel, sosok Ariel tak
terlihat, hal ini membuat Syila merasa cemas. Entah kecemasan apa yang ia
rasakan sehingga hatinya sangat sakit. Meskipun Ariel belum menjadi bagian dari
hidupnya, tapi Ariel cukup membuatnya bahagia meskipun hanya sekali dengan
mengucap kata–kata yang membuat hatinya seketika begemuruh. “Vito, kemana sich,
Ariel, kok sudah lama gak kelihatan..?” Tanya Syila pada teman dekat Ariel. “Ohh…
kalau itu aku gak tahu juga Syil. Tapi terakhir kali gue liihaaat.., eh udah
dulu ya, gue ke kantin dulu ditunggu teman– teman”, “iya..“ jawab Syila lemas.
“Dimana sich tuh anak, bikin gue kangen aja…” eh….. apa yang gue katakan, ada
orang denger gak ya. Syila melihat kiri kanan, untung gak ada orang, hi.. hi… hi…
Syila pun berlari menuju kelas.
Sore hari, pukul 15.44
WIB
Syila masih terus kepikiran Ariel. Cowok itu bikin hatinya makin takut kehilangannya. Sore ini Syila duduk menyendiri di ayunan di tengah-tengah dekat taman rumahnya. Sambil menyaksikan sekitar dengan tatapan kosong. Tak sengaja tatapannya buyar tatkala ada yang menggertaknya dengan keras. “Door..”. “aah…” Syila berteriak kaget, ia masih sempat manyun sebelum tahu siapa yang telah mengagetkannya. Hatinya seakan bergemuruh. “ A… Ar… Ariel..?” Syila mulai membendung air mata. “Ariel… kamu..” ia mulai meneteskan air mata. “Syil.. kenapa nangis?”. “kamu jahat tau gak”, “jahat..?, jahat kenapa?” Ariel bertanya penuh kebingungan, Riel, aku tahu, kamu bukan siapa–siapaku, tapi kamu sudah cukup membuatku bahagia, waktu kamu ada di dekatku waktu itu, aku rasa ada yang aneh, dan aku sadar, aku mulai menyukaimu, aku ingin melanjutkan perasaanku kepadamu. Tapi tolong, Riel, jangan beri aku harapan untuk mencintaimu. “Pergi jauh dariku..!” Syila hendak meninggalkan Ariel yang masih berdiri mematung dengan wajah penuh kebingungan. Ia cepat–cepat memegang pergelangan tangan Syila. “Syila ada apa?, tolong jangan bersikap begitu padaku”. “lepaskan tanganku, lepas!”. “tidak, kamu bilang sama aku, kenapa kamu bersikap begini padaku”. “lepas, lepaskan aku…!”. Cengkeraman tangan Ariel semakin kuat. “aku terlanjur cinta padamu, tapi aku tidak bisa menjangkau cintamu, dan tiak bisa berharap lebih padamu. Karena kau sudah memiliki pasangan hatimu sendiri”. “siapa…?” tanya Ariel, “jangan berlaga bodoh begitu”. Ariel semakin bingung. Padahal yang dekat dengannya selama ini hanyalah sepupunya yang dari Amerika. “tidak Syil, itu bukan siapa–siapaku, dia hanya sepu..”. “udahlah, aku capek”, “tolong, Syil”. Ia mulai melepaskan cengkeramannya dan memeluknya. “Riel, lepasin aku”.
###
Wasilatun nafi’ah, asal Muncek Timur, alumni Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah Errabu Bluto Sumenep.
0 Komentar