Banner HIMA 2021

Kembali ke Khittah Pesantren

 

foto: daaruttauhiid.org

Oleh Anisatul Laily*

__Menggali makna, mempertahankan jati diri

Salah satu awal dari kembali ke khittah pesantren adalah mengembalikan semangat dan niat belajar pada khittah pertama yaitu, untuk mencari ridha Allah, menghilangkan kebodohan, serta demi mencerdaskan umat dan kehidupan bangsa.

Semangat mencari ridha Allah ini mulai mengurang atau bahkan sudah luntur dikalangan santri seiring dengan kabut globalisasi, westernisasi dan sekularisasi yang terus mewarnai suasana hidup masyarakat di masa sekarang. Sehingga santri cenderung menjadikan ilmu sebagai tujuan akhir, bukan menjadikannya sebagai batu loncatan untuk menuju keridhaan Tuhan. Santri cenderung hanya mengambil manfaat dari ilmu yang diperoleh dan tidak sampai pada tahap bagaimana memanfaatkan atau pemanfaatan ilmu itu sendiri dalam kehidupan.

Niat sangat urgen sekali dalam perjalanan hidup seeorang. Ia menjadi spirit bahkan menjelma syariat yang setiap saat mengarahkan kognisi, afeksi, dan psikomotorik seseorang. Masyarakat modern sekarang, seperti analisisnya Erich From, sedang terjangkit sindrom psikologis, berupa orientasi eksploitatif menimbun. Sebuah orientasi (baca; niat) pencarian jati diri dengan cara menguasai dan merampas (baca; tamak) segala sesuatu dan mematenkannya dalam lingkaran profesi untuk menutupi kebobrokan dirinya sendiri.

Dalam dunia pendidikan, orientasi eksploitatif ini sangat tampak sekali. Orang mempelajari ilmu pengetahuan hanya untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Seperti yang terjadi di barat. Ilmu pengetahuan dipelajari untuk menampakkan ego diri. Penelitian dilakukan sebagai wujud pengabdian pada ilmu pengetahuan tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Tidak heran kemudian kalau mereka berani mengorbankan nyawa dan kebahagiaan orang lain demi sebuah percobaan ilmu pengetahuan.

Dalam konteks Indonesia, orientasi pemerintah dalam bidang pendidikan sekarang lebih mengarah pada pembentukan keahlian atau keterampilan dengan tujuan lahirnya profesional personality tanpa kualitas ruhi. Orientasi pendidikan saat ini lebih mengarahkan anak didik untuk dapat mempunyai keahlian supaya tidak menjadi pengangguran.

Pendidikan pesantren cenderung tertarik mengikuti berbagai perkembangan zaman tanpa adanya penyaringan yang baik, sehingga berimbas pada pergeseran jati diri pesantren itu sendiri, mulai dari nilai-nilai, prinsip, serta ciri khas kesantrian. Oleh karena itu, pesantren memandang “niat” sebagai satu aspek yang sangat urgen, yaitu niat yang tulus dan ikhlas dalam menjalani proses pendidikan. Niat mengharapkan ridha Allah akan menjadi ruh bagi setiap penuntut ilmu, menjadi balance dan control antara orientasi profesi dan perjungan menuntut ilmu. Adapun salah satu cara menanamkan orientasi pendidikan yang lillahi ta’ala adalah dengan penanaman nilai-nilai ketauhidan mulai sejak dini.

Kalau melihat realitas pesantren sekarang, justeru penanaman niali-nilai ketauhidan sangat minim sekali. Sekalipun ada, mungkin sekedar wacana atau hanya pada tataran pengertian dan keyakinan tentang ketuhanan saja. Padahal ada satu aspek yang lebih penting yaitu bagaimana menjadikan ilmu dan pengetahuan ketauhidan sebagai jalan hidup yang selalu diaktualisasikan dalam pikiran dan tingkah laku sehari-hari. Sehingga dibutuhkan desain atau konsep tauhid fi’il atau adadii yang kemudian diterapkan kepada seluruh santri, melalui ruang pendidikan, pelatihan, serta ruang kegiatan lain yang memungkinkan.

Berdasarkan berbagai uraian di atas, istilah “Kembali ke Khittah Pesantren” sesungguhnya merupakan upaya untuk mentauhidkan pendidikan. Sebagaimana pendidikan pesantren yang diharapkan tetap mampu menjadi solusi terhadap berbagai persoalan kehidupan di masa yang akan datang, tentunya dengan dasar ilmu pengetahuan dan cara-cara yang rahmatul lil ‘alamin.


 

 


Anisatul Laily, Santri Pondok Tahfidz dan Siswa Kelas XII (IPS). Aktif Berkegiatan di Organisasi Santri Mashlahatul Hidayah (ORISMA) Komisi A (Bidang Kesantrian). 

Posting Komentar

0 Komentar