Oleh Anisatul Laily*
__Menggali
makna, mempertahankan jati diri
Salah satu awal
dari kembali ke khittah pesantren adalah mengembalikan semangat dan niat
belajar pada khittah pertama yaitu, untuk mencari ridha Allah, menghilangkan kebodohan,
serta demi mencerdaskan umat dan kehidupan bangsa.
Semangat mencari ridha Allah ini mulai mengurang atau bahkan sudah
luntur dikalangan santri seiring dengan kabut globalisasi, westernisasi dan
sekularisasi yang terus mewarnai suasana hidup masyarakat di masa sekarang. Sehingga
santri cenderung menjadikan ilmu sebagai tujuan akhir, bukan menjadikannya
sebagai batu loncatan untuk menuju keridhaan Tuhan. Santri cenderung hanya mengambil
manfaat dari ilmu yang diperoleh dan tidak sampai pada tahap bagaimana
memanfaatkan atau pemanfaatan ilmu itu sendiri dalam kehidupan.
Niat sangat urgen sekali dalam perjalanan hidup seeorang. Ia
menjadi spirit bahkan menjelma syariat yang setiap saat mengarahkan kognisi,
afeksi, dan psikomotorik seseorang. Masyarakat modern sekarang, seperti
analisisnya Erich From, sedang terjangkit sindrom psikologis, berupa orientasi
eksploitatif menimbun. Sebuah orientasi (baca; niat) pencarian jati diri dengan
cara menguasai dan merampas (baca; tamak) segala sesuatu dan mematenkannya
dalam lingkaran profesi untuk menutupi kebobrokan dirinya sendiri.
Dalam dunia pendidikan, orientasi eksploitatif ini sangat tampak
sekali. Orang mempelajari ilmu pengetahuan hanya untuk menunjukkan eksistensi
dirinya. Seperti yang terjadi di barat. Ilmu pengetahuan dipelajari untuk
menampakkan ego diri. Penelitian dilakukan sebagai wujud pengabdian pada ilmu
pengetahuan tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Tidak heran kemudian
kalau mereka berani mengorbankan nyawa dan kebahagiaan orang lain demi sebuah
percobaan ilmu pengetahuan.
Dalam konteks Indonesia, orientasi pemerintah dalam bidang pendidikan
sekarang lebih mengarah pada pembentukan keahlian atau keterampilan dengan
tujuan lahirnya profesional personality tanpa kualitas ruhi.
Orientasi pendidikan saat ini lebih mengarahkan anak didik untuk dapat mempunyai
keahlian supaya tidak menjadi pengangguran.
Pendidikan pesantren cenderung tertarik mengikuti berbagai
perkembangan zaman tanpa adanya penyaringan yang baik, sehingga berimbas pada pergeseran
jati diri pesantren itu sendiri, mulai dari nilai-nilai, prinsip, serta ciri
khas kesantrian. Oleh karena itu, pesantren
memandang “niat” sebagai satu aspek yang sangat urgen, yaitu niat yang tulus
dan ikhlas dalam menjalani proses pendidikan. Niat mengharapkan ridha Allah
akan menjadi ruh bagi setiap penuntut ilmu, menjadi balance dan control
antara orientasi profesi dan perjungan menuntut ilmu. Adapun salah satu cara menanamkan
orientasi pendidikan yang lillahi ta’ala adalah dengan penanaman
nilai-nilai ketauhidan mulai sejak dini.
Kalau melihat realitas pesantren sekarang, justeru penanaman
niali-nilai ketauhidan sangat minim sekali. Sekalipun ada, mungkin sekedar
wacana atau hanya pada tataran pengertian dan keyakinan tentang ketuhanan saja.
Padahal ada satu aspek yang lebih penting yaitu bagaimana menjadikan ilmu dan
pengetahuan ketauhidan sebagai jalan hidup yang selalu diaktualisasikan dalam pikiran
dan tingkah laku sehari-hari. Sehingga dibutuhkan desain atau konsep tauhid fi’il
atau adadii yang kemudian diterapkan kepada seluruh santri, melalui
ruang pendidikan, pelatihan, serta ruang kegiatan lain yang memungkinkan.
Berdasarkan berbagai uraian di atas, istilah “Kembali ke Khittah Pesantren” sesungguhnya merupakan upaya untuk mentauhidkan pendidikan. Sebagaimana pendidikan pesantren yang diharapkan tetap mampu menjadi solusi terhadap berbagai persoalan kehidupan di masa yang akan datang, tentunya dengan dasar ilmu pengetahuan dan cara-cara yang rahmatul lil ‘alamin.
Anisatul Laily, Santri Pondok Tahfidz dan Siswa Kelas
XII (IPS). Aktif Berkegiatan di Organisasi Santri Mashlahatul Hidayah
(ORISMA) Komisi A (Bidang Kesantrian).
0 Komentar