Foto; insists.id (istimewa)
Oleh: Lailul Ilham*
Setiap zaman memiliki model promosi tersendiri
yang alamiah dan kontekstual dengan perkembangan saat itu. Aktivitas promosi dapat
dikategorikan sebagai satu dari sekian kebutuhan dasar (basic need)
manusia yaitu kebutuhan eksistensi sebagaimana menurut teoritisi Maslow dalam hierarki
kebutuhan manusia. Misi utama kegiatan promosi sebagai branding terhadap
individu atau instansi/lembaga tertentu, yang dilakukan dengan strategi terencana
dan memanfaatkan aspek-aspek kemajuan (teknologi informasi) terkini.
Dalam perkembangannya, aktivitas promosi menjadi
disiplin pengetahuan baru yang terlembagakan dalam instansi pendidikan dan
pelatihan, yang dikenal dengan bidang marketing/pemasaran, baik di sekolah
menengah kejuruan atau sekolah tinggi, yang secara khusus mempelajari wawasan
promosi secara teoritis dan praksis. Kemudian melahirkan tenaga ahli, sarjana,
atau agen promosi yang memiliki ijazah sebagai legalitas dari keahlinan yang
dimiliki.
Lahirnya sarjana marketing yang secara kontinoe
melakukan ekplorasi terhadap bidang keahliannya sehingga menemukan
strategi-strategi promosi baru, yang lebih strategis dan adaptif dengan
perkembangan zaman. Aktivitas promosi terus dilakukan untuk menjaga stabilitas
dan keberlangsungan obyek yang dipromosikan. Selain itu, muncul juga peluang
karir yang secara spesifik menerima sumber daya manusia dengan kualifikasi
keterampilan marketing.
Kemudian dalam konteks pesantren, pesantren
juga tidak luput dari kegiatan promosi tersebut. Mulanya pesantren dikenal sebagai
lembaga pendidikan tradisional, dengan manajemen pendidikan dan sistem
pengelolaan yang tradisional, bahkan mungkin dengan model promosi yang juga
tradisional. Namun seiring perjalanan, pesantren mulai terbuka dan beradaptasi
dengan berbagai perkembangan dan kemajuan zaman, sebagaimana lembaga pendidikan
yang lain. Sehingga muncul manajemen pengelolaan dan desain pendidikan pesantren
yang modern dan strategi promosi baru yang memanfaatkan media teknologi
informasi terkini.
Keluar sejenak dari pakem pengetahuan promosi,
namun tetap dalam konteks kajian kepesantrenan. Sebenarnya dalam pesantren telah
terjadi proses promosi secara persuasif dan alamiah, yang mungkin terjadi
diluar kesadaran masyarakat dan pesantren itu sendiri, dan agen dari aktivitas
promosi tersebut adalah Santri (termasuk alumni). Bagaimana seorang santri
menjadi agen promosi pesantren, tanpa memiliki pengetahuan dan keterampilan
promosi (ansih), tanpa memiliki strategi khusus, bahkan tanpa kesadaran sekaligus?.
Agen promosi yang dimaksud adalah kaum santri
yang mampu menunjukkan identitas kesantriannya di ruang domestik (pesantren dan
keluarga) maupun di ruang publik (tengah masyarakat dan citra media sosial). Identitas
kesantrian tersebut (setidaknya) merujuk pada beberapa karakter ideal yang
mesti dimiliki seorang santri yaitu karakter kesopanan (akhlakul karimah)
dan wawasan keagamaan (‘alim). Dua identitas tersebut yang membangun
citra psositif terhadap personal santri dan pesantren sebagai lembaga
pendidikannya.
Berangkat dari fenomena tersebut, maka wajar
jika masyarakat berkeinginan besar memiliki seorang anak yang nyantri
(santri) sehingga mereka berlomba-lomba mendaftarkan anaknya ke pondok pesantren,
demi menggapai yang dicitakan. Perhatian dan ketertarikan publik merupakan
bukti keberhasilan sebuah promosi, dalam kasus ini dapat dikatakan bahwa santri
telah berhasil mempromosikan diri dan lembaganya dengan membangun citra positif
di tengah masyarakat.
Namun perlu juga disadari bahwa jika kita sepakat mengatakatan; perilaku positif santri dapat membangun citra pesantren, maka dalam waktu bersamaan kita juga harus sepakat bahwa; perilaku negatif santri akan mencemarkan nama baik pesantren. Sebab keduanya sama-sama memposisikan santri sebagai subyek dalam kerja promosi. Artinya jika terdapat santri yang berperilaku tidak sebagaimana santri atau menafikan identitas kesantrian, maka sesunggunya ia telah membangun citra pesantren yang negatif, sehingga akan berdampak pada penurunan tingkat perhatian dan ketertarikan masyarakat terhadap status santri dan lembaga pesantren itu sendiri. Sekian, semoga beranfaat.
*Alumni Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah (MASDA)
Errabu Bluto Sumenep Jawa Timur
0 Komentar