Dokumentasi saat menemui Rital Guandi (GR) di salah satu unit
usahanya, di daerah Gedangan Sidoarjo. (23/07/2020)
Oleh: Lailul Ilham*
Masda.id - Dalam satu perjumpaan singkat dengan saudara Rital Guandi (RG), santri yang
sekaligus alumni (IPS 2011) Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah di daerah
Gedangan Sidoarjo Jawa Timur. RG merupakan salah satu alumni yang sejak setalah
menyelesaikan studi Ia langsung memilih terjun ke dunia bisnis, tepatnya bisnis
toko/pertokoan, di beberapa kota di Indonesia.
Secara
universal, sistem kerja atau manajemen bisnis relatif sama. Sebab setiap
aktivitas bisnis maka orientasi utamanya adalah keuntungan materialistik. Namun
khusus pertemuan dengan RG kami tidak membahas konsep bisnis secara umum,
melainkan secara khusus yaitu menyangkut bagaimana identitas pesantren
membentuk sistem kerja, atau lebih tepatnya bagaimana pengalaman kesantrian
mempengaruhi manajemen bisnis seorang santri. Kira-kira akan sama?, berbeda?,
atau terdapat sesuatu yang khas.
Beberapa
waktu setelah pertanyaan diberikan, kemudian RG menjelaskan berbagai informasi
terkait pengelolaan bisnis toko, mulai dari tahap merintis, manajemen keuangan,
strategi pemasaran, teknik menarik pelanggan, sistem bagi hasil, serta sistem
gaji pekerja. Kamudian dijelaskan juga bagaimana seharusnya seorang pebisnis
peka terhadap pangsa pasar dan harus eksploratif terhadap strategi pengelolaan
usaha, sebab setiap waktu selalu memiliki pangsa pasarnya sendiri, yang
berbeda, sehingga selalu membutuhkan strategi-strategi baru yang jitu (apik).
Sekian banyak
penjelasan yang disampaikan, namun tulisan ini secara spesifik akan difokuskan
pada penjelasan terkait bagaimana identitas pesantren atau
pengalaman-pengalaman kesantrian dalam membentuk karakteristik yang khas RG
dalam mengelola usahanya.
Pertama;
Kejujuran. Kejujuran
semua pihak dalam konteks bisnis sangat menentukan progresifitas dan
keberhasilan usaha. Semua pihak termasuk pemilik toko, pemodal, pekerja, atau
siapapun yang terlibat mesti mengedepankan azas keterbukaan dan kejujuran
supaya proses usaha berjalan dengan baik. Upaya-upaya untuk mengembangkan usaha
mesti menjadi komitmen bersama dan jika terjadi hal-hal di luar keinginan maka
otomatis kondisi tersebut menjadi tanggung jawab bersama.
Kedua; Bukan
Karyawan Tapi Saudara. Hal ini terkait persepsi yang digunakan oleh pebisnis dalam
mengidentifikasi dirinya serta kolega bisnisnya. Adapun gambaran kongkrit dari
persepsi tersebut adalah tidak menganggap karyawan sebagai bawahan, melainkan
sebagai saudara. Sekilas gagasan ini sederhana, sebab hanya menyangkut
persoalan persepsi. Namun berimplikasi besar terhadap proses pelayanan,
pendampingan, pengarahan, serta hubungan kerja yang dibangun. Bagaimana
pihak-pihak tersebut saling menjaga kepercayaan dan komitmen masing-masing,
sebab bisnis yang sedang dijalankan dianggap sebagai bisnis milik saudara
sendiri yang mesti dikelola secara serius sebagaimana milik sendiri.
Ketiga; Apresiasi
Kerja. Apresiasi kerja menyangkut bagaimana pemilik usaha mesti
apresiatif dan respek terhadap capaian kerja karyawannya. Sebab jika seorang
mendapat pehatian atau penghargaan (reward) atas capaian kerjanya maka tentu
itu akan semakin memacu semangat serta motivasi kerjanya. Kemudian ingatan
tentang penghargaan tersebut terus dirawat, disadari, sehingga menumbuhkan etos
kerja baru dan target capaian yang juga baru. Bentuk apresiasi itu beragam,
bisa berupa pemberian insentif pada setiap capaian kerja, missal hasil
pemasaran tinggi, hasil penjualan melebihi target maksimal, atau karena alasan
yang lain.
Empat; Tambahan
Gaji. Penambahan gaji sebenarnya termasuk dalam kategori apresiasi
kerja namun lebih spesifik lagi penambahan gaji dilakukan atas dasar komitmen
kerja selama waktu tertentu (sesuai jadwal gaji). Selain tambahan nominal gaji,
hal tersebut juga menyangku soal konsistensi penyaluran gaji. Artinya
memberikan gaji sesuai jadwal tidak hanya berdasar pada profesionalitas namun
juga didasarkan pada anjuran dalam Islam untuk mempercepat pemberian upah kerja.
bicara soal
pemberian gaji dan kesadaran untuk menyegerakan pemberian upah, tentu tindakan
sesuai dengan ajaran agama atau sejalan dengan cita-cita agama Islam. Terkait
anjuran menyegerakan pemberian upah, dalam satu kaidah dijelaskan bahwa “a’til
ajira ajrahu qabla an-yakhiffa araquhu” (berikanlah upah, sebelum kering
keringatnya). Secara tegas kaidah tersebut mengisyaratkan anjuran mempercepat
atau menyegerakan pemberian upah kepada yang bekerja. Betapa menyegerakan
pemberian upah itu sangat ditekankan sehingga dikiyaskan dengan batasan
istilah; sebelum kering keringatnya.
Empat
karakter tersebut merupakan penjelasan sekaligus bukti yang menunjukkan bahwa
karakteristik tersebut dibentuk oleh identitas pesantren atau pengalaman
kesantrian yang pernah dialami. Namun juga tidak dapat dinafikan bahwa
kemungkinan kondisi tersebut juga dipengaruhi oleh aspek lain di luar faktor
yang telah disebutkan, dan empat karakteristik tersebut sebenarnya dapat
dielaborasi dan diterapkan dalam berbagai jenis usaha yang lain. Demikianlah,
semoga bermanfaat.
*Alumni Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah Errabu Bluto Sumenep
0 Komentar