Banner HIMA 2021

Identitas Pesantren Dalam Membentuk Paradigma Berwirausaha Santri



Dokumentasi saat menemui Rital Guandi (GR) di salah satu unit usahanya, di daerah Gedangan Sidoarjo. (23/07/2020)

Oleh: Lailul Ilham*

Masda.id - Dalam satu perjumpaan singkat dengan saudara Rital Guandi (RG), santri yang sekaligus alumni (IPS 2011) Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah di daerah Gedangan Sidoarjo Jawa Timur. RG merupakan salah satu alumni yang sejak setalah menyelesaikan studi Ia langsung memilih terjun ke dunia bisnis, tepatnya bisnis toko/pertokoan, di beberapa kota di Indonesia.

Secara universal, sistem kerja atau manajemen bisnis relatif sama. Sebab setiap aktivitas bisnis maka orientasi utamanya adalah keuntungan materialistik. Namun khusus pertemuan dengan RG kami tidak membahas konsep bisnis secara umum, melainkan secara khusus yaitu menyangkut bagaimana identitas pesantren membentuk sistem kerja, atau lebih tepatnya bagaimana pengalaman kesantrian mempengaruhi manajemen bisnis seorang santri. Kira-kira akan sama?, berbeda?, atau terdapat sesuatu yang khas.

Beberapa waktu setelah pertanyaan diberikan, kemudian RG menjelaskan berbagai informasi terkait pengelolaan bisnis toko, mulai dari tahap merintis, manajemen keuangan, strategi pemasaran, teknik menarik pelanggan, sistem bagi hasil, serta sistem gaji pekerja. Kamudian dijelaskan juga bagaimana seharusnya seorang pebisnis peka terhadap pangsa pasar dan harus eksploratif terhadap strategi pengelolaan usaha, sebab setiap waktu selalu memiliki pangsa pasarnya sendiri, yang berbeda, sehingga selalu membutuhkan strategi-strategi baru yang jitu (apik).

Sekian banyak penjelasan yang disampaikan, namun tulisan ini secara spesifik akan difokuskan pada penjelasan terkait bagaimana identitas pesantren atau pengalaman-pengalaman kesantrian dalam membentuk karakteristik yang khas RG dalam mengelola usahanya.

Pertama; Kejujuran. Kejujuran semua pihak dalam konteks bisnis sangat menentukan progresifitas dan keberhasilan usaha. Semua pihak termasuk pemilik toko, pemodal, pekerja, atau siapapun yang terlibat mesti mengedepankan azas keterbukaan dan kejujuran supaya proses usaha berjalan dengan baik. Upaya-upaya untuk mengembangkan usaha mesti menjadi komitmen bersama dan jika terjadi hal-hal di luar keinginan maka otomatis kondisi tersebut menjadi tanggung jawab bersama.

Kedua; Bukan Karyawan Tapi Saudara. Hal ini terkait persepsi yang digunakan oleh pebisnis dalam mengidentifikasi dirinya serta kolega bisnisnya. Adapun gambaran kongkrit dari persepsi tersebut adalah tidak menganggap karyawan sebagai bawahan, melainkan sebagai saudara. Sekilas gagasan ini sederhana, sebab hanya menyangkut persoalan persepsi. Namun berimplikasi besar terhadap proses pelayanan, pendampingan, pengarahan, serta hubungan kerja yang dibangun. Bagaimana pihak-pihak tersebut saling menjaga kepercayaan dan komitmen masing-masing, sebab bisnis yang sedang dijalankan dianggap sebagai bisnis milik saudara sendiri yang mesti dikelola secara serius sebagaimana milik sendiri. 

Ketiga; Apresiasi Kerja. Apresiasi kerja menyangkut bagaimana pemilik usaha mesti apresiatif dan respek terhadap capaian kerja karyawannya. Sebab jika seorang mendapat pehatian atau penghargaan (reward) atas capaian kerjanya maka tentu itu akan semakin memacu semangat serta motivasi kerjanya. Kemudian ingatan tentang penghargaan tersebut terus dirawat, disadari, sehingga menumbuhkan etos kerja baru dan target capaian yang juga baru. Bentuk apresiasi itu beragam, bisa berupa pemberian insentif pada setiap capaian kerja, missal hasil pemasaran tinggi, hasil penjualan melebihi target maksimal, atau karena alasan yang lain. 

Empat; Tambahan Gaji. Penambahan gaji sebenarnya termasuk dalam kategori apresiasi kerja namun lebih spesifik lagi penambahan gaji dilakukan atas dasar komitmen kerja selama waktu tertentu (sesuai jadwal gaji). Selain tambahan nominal gaji, hal tersebut juga menyangku soal konsistensi penyaluran gaji. Artinya memberikan gaji sesuai jadwal tidak hanya berdasar pada profesionalitas namun juga didasarkan pada anjuran dalam Islam untuk mempercepat pemberian upah kerja.

bicara soal pemberian gaji dan kesadaran untuk menyegerakan pemberian upah, tentu tindakan sesuai dengan ajaran agama atau sejalan dengan cita-cita agama Islam. Terkait anjuran menyegerakan pemberian upah, dalam satu kaidah dijelaskan bahwa “a’til ajira ajrahu qabla an-yakhiffa araquhu” (berikanlah upah, sebelum kering keringatnya). Secara tegas kaidah tersebut mengisyaratkan anjuran mempercepat atau menyegerakan pemberian upah kepada yang bekerja. Betapa menyegerakan pemberian upah itu sangat ditekankan sehingga dikiyaskan dengan batasan istilah; sebelum kering keringatnya.

Empat karakter tersebut merupakan penjelasan sekaligus bukti yang menunjukkan bahwa karakteristik tersebut dibentuk oleh identitas pesantren atau pengalaman kesantrian yang pernah dialami. Namun juga tidak dapat dinafikan bahwa kemungkinan kondisi tersebut juga dipengaruhi oleh aspek lain di luar faktor yang telah disebutkan, dan empat karakteristik tersebut sebenarnya dapat dielaborasi dan diterapkan dalam berbagai jenis usaha yang lain. Demikianlah, semoga bermanfaat.


*Alumni Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah Errabu Bluto Sumenep 

Posting Komentar

0 Komentar