Oleh : MAKTUM*
Nikah Mut'ah Dalam Islam
Nikah
mut’ah atau dikenal juga dengan nikah sementara adalah bentuk pernikahan yang
memiliki batas waktu tertentu, yang telah disepakati oleh kedua belah pihak
sejak awal akad. Dalam pernikahan ini, mahar tetap diberikan sebagaimana
pernikahan biasa, namun dengan perbedaan utama terletak pada adanya jangka
waktu yang telah ditentukan.
Dasar dan Sejarah Nikah Mut'ah
Nikah
mut’ah pernah dibolehkan pada masa awal Islam, terutama dalam kondisi darurat
seperti saat peperangan di mana kaum Muslimin jauh dari keluarga mereka.
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah membolehkan nikah
mut’ah dalam kondisi khusus, namun kemudian praktik tersebut diharamkan secara
permanen. Riwayat yang paling banyak diikuti oleh kalangan Sunni menyatakan
bahwa pengharaman nikah mut’ah dilakukan pada masa penaklukan Khaibar, dan
ditegaskan kembali oleh Sayyidina Umar bin Khattab saat menjadi khalifah.
Namun,
sebagian kalangan, khususnya dari mazhab Syiah, tetap menganggap nikah mut’ah
sebagai bentuk pernikahan yang sah dan halal hingga saat ini. Mereka
berlandaskan pada ayat Al-Qur’an, yaitu QS. An-Nisa: 24, yang menyebutkan:
"…maka
istri-istri yang kamu nikmati (istamta’tum) di antara mereka, berikanlah kepada
mereka maharnya sebagai suatu kewajiban…"
Menurut
pandangan Syiah, istilah istamta’tum dalam ayat tersebut merujuk pada
nikah mut’ah. Sementara mayoritas ulama Sunni menafsirkan bahwa ayat tersebut
tidak lagi relevan untuk membolehkan nikah mut’ah setelah turunnya larangan
secara tegas dari Nabi SAW.
Perspektif Ulama Sunni
Mayoritas
ulama dari mazhab Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) sepakat bahwa
nikah mut’ah hukumnya haram. Mereka berpendapat bahwa pernikahan dalam Islam
harus berlandaskan pada prinsip keberlanjutan dan tanggung jawab, bukan
perjanjian sementara. Mereka merujuk pada hadis Rasulullah SAW yang menyatakan:
“Wahai
manusia, sesungguhnya aku telah mengizinkan kalian melakukan mut’ah, dan
sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim)
Larangan
ini juga diperkuat oleh keputusan para sahabat dan ulama setelah Rasulullah SAW
wafat. Menurut mereka, pengharaman nikah mut’ah adalah bagian dari
penyempurnaan syariat Islam dan sebagai bentuk perlindungan terhadap kehormatan
wanita.
Perspektif Ulama Syiah
Berbeda
dengan ulama Sunni, ulama Syiah Imamiyah (Itsna Asyariyah) tetap membolehkan
nikah mut’ah. Dalam pandangan mereka, nikah mut’ah adalah solusi sah dalam
kondisi tertentu, misalnya untuk menghindari perzinaan atau dalam situasi
sosial yang menyulitkan untuk menikah secara permanen. Mereka juga menegaskan
bahwa larangan terhadap mut’ah adalah keputusan ijtihad Khalifah Umar bin
Khattab, bukan larangan dari Nabi SAW.
Dalam
pelaksanaannya, nikah mut’ah menurut Syiah tetap memerlukan syarat-syarat sah
pernikahan seperti adanya mahar dan akad. Namun, karena bersifat temporer,
tidak ada kewajiban nafkah berkelanjutan ataupun warisan, dan perceraian
terjadi secara otomatis setelah waktu yang disepakati berakhir.
Kontroversi dan Tantangan Sosial
Nikah
mut’ah kerap menjadi polemik di tengah masyarakat Muslim. Sebagian
menganggapnya sebagai bentuk legalisasi perzinaan karena adanya batas waktu
tertentu yang menyerupai kontrak. Dalam praktiknya, ada pula kekhawatiran bahwa
nikah mut’ah disalahgunakan untuk kepentingan hawa nafsu atau eksploitasi
perempuan.
Namun,
pendukung nikah mut’ah, terutama dari kalangan Syiah, menganggap bahwa
pernikahan ini merupakan bentuk fleksibilitas hukum Islam dalam menghadapi
kondisi sosial tertentu. Mereka juga menekankan bahwa semua syarat pernikahan
tetap terpenuhi, sehingga tidak dapat disamakan dengan zina.
Penutup
Nikah
mut’ah adalah isu yang sangat sensitif dan kompleks dalam khazanah pemikiran
Islam. Perbedaan pandangan antara Sunni dan Syiah dalam hal ini mencerminkan
keberagaman interpretasi terhadap teks-teks agama dan dinamika sosial
masyarakat Muslim. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang mayoritas Sunni,
nikah mut’ah tidak diakui secara hukum dan praktiknya dianggap tidak sah.
Meski
begitu, memahami perspektif masing-masing mazhab secara objektif dapat
menumbuhkan sikap saling menghargai dan memperkaya wawasan dalam beragama.
0 Komentar