Banner HIMA 2021

NIKAH MUT’AH DALAM PERSPEKTIF ISLAM

 

(Foto: Freepik)

Oleh : MAKTUM*

Nikah Mut'ah Dalam Islam

Nikah mut’ah atau dikenal juga dengan nikah sementara adalah bentuk pernikahan yang memiliki batas waktu tertentu, yang telah disepakati oleh kedua belah pihak sejak awal akad. Dalam pernikahan ini, mahar tetap diberikan sebagaimana pernikahan biasa, namun dengan perbedaan utama terletak pada adanya jangka waktu yang telah ditentukan.

Dasar dan Sejarah Nikah Mut'ah

Nikah mut’ah pernah dibolehkan pada masa awal Islam, terutama dalam kondisi darurat seperti saat peperangan di mana kaum Muslimin jauh dari keluarga mereka. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah membolehkan nikah mut’ah dalam kondisi khusus, namun kemudian praktik tersebut diharamkan secara permanen. Riwayat yang paling banyak diikuti oleh kalangan Sunni menyatakan bahwa pengharaman nikah mut’ah dilakukan pada masa penaklukan Khaibar, dan ditegaskan kembali oleh Sayyidina Umar bin Khattab saat menjadi khalifah.

Namun, sebagian kalangan, khususnya dari mazhab Syiah, tetap menganggap nikah mut’ah sebagai bentuk pernikahan yang sah dan halal hingga saat ini. Mereka berlandaskan pada ayat Al-Qur’an, yaitu QS. An-Nisa: 24, yang menyebutkan:

"…maka istri-istri yang kamu nikmati (istamta’tum) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban…"

Menurut pandangan Syiah, istilah istamta’tum dalam ayat tersebut merujuk pada nikah mut’ah. Sementara mayoritas ulama Sunni menafsirkan bahwa ayat tersebut tidak lagi relevan untuk membolehkan nikah mut’ah setelah turunnya larangan secara tegas dari Nabi SAW.

Perspektif Ulama Sunni

Mayoritas ulama dari mazhab Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) sepakat bahwa nikah mut’ah hukumnya haram. Mereka berpendapat bahwa pernikahan dalam Islam harus berlandaskan pada prinsip keberlanjutan dan tanggung jawab, bukan perjanjian sementara. Mereka merujuk pada hadis Rasulullah SAW yang menyatakan:

“Wahai manusia, sesungguhnya aku telah mengizinkan kalian melakukan mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim)

Larangan ini juga diperkuat oleh keputusan para sahabat dan ulama setelah Rasulullah SAW wafat. Menurut mereka, pengharaman nikah mut’ah adalah bagian dari penyempurnaan syariat Islam dan sebagai bentuk perlindungan terhadap kehormatan wanita.

Perspektif Ulama Syiah

Berbeda dengan ulama Sunni, ulama Syiah Imamiyah (Itsna Asyariyah) tetap membolehkan nikah mut’ah. Dalam pandangan mereka, nikah mut’ah adalah solusi sah dalam kondisi tertentu, misalnya untuk menghindari perzinaan atau dalam situasi sosial yang menyulitkan untuk menikah secara permanen. Mereka juga menegaskan bahwa larangan terhadap mut’ah adalah keputusan ijtihad Khalifah Umar bin Khattab, bukan larangan dari Nabi SAW.

Dalam pelaksanaannya, nikah mut’ah menurut Syiah tetap memerlukan syarat-syarat sah pernikahan seperti adanya mahar dan akad. Namun, karena bersifat temporer, tidak ada kewajiban nafkah berkelanjutan ataupun warisan, dan perceraian terjadi secara otomatis setelah waktu yang disepakati berakhir.

Kontroversi dan Tantangan Sosial

Nikah mut’ah kerap menjadi polemik di tengah masyarakat Muslim. Sebagian menganggapnya sebagai bentuk legalisasi perzinaan karena adanya batas waktu tertentu yang menyerupai kontrak. Dalam praktiknya, ada pula kekhawatiran bahwa nikah mut’ah disalahgunakan untuk kepentingan hawa nafsu atau eksploitasi perempuan.

Namun, pendukung nikah mut’ah, terutama dari kalangan Syiah, menganggap bahwa pernikahan ini merupakan bentuk fleksibilitas hukum Islam dalam menghadapi kondisi sosial tertentu. Mereka juga menekankan bahwa semua syarat pernikahan tetap terpenuhi, sehingga tidak dapat disamakan dengan zina.

Penutup

Nikah mut’ah adalah isu yang sangat sensitif dan kompleks dalam khazanah pemikiran Islam. Perbedaan pandangan antara Sunni dan Syiah dalam hal ini mencerminkan keberagaman interpretasi terhadap teks-teks agama dan dinamika sosial masyarakat Muslim. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang mayoritas Sunni, nikah mut’ah tidak diakui secara hukum dan praktiknya dianggap tidak sah.

Meski begitu, memahami perspektif masing-masing mazhab secara objektif dapat menumbuhkan sikap saling menghargai dan memperkaya wawasan dalam beragama.

Maktum, Guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) Mashlahatul Hidayah Errabu Bluto Sumenep Jawa Timur.

Posting Komentar

0 Komentar