Banner HIMA 2021

Problematika Konsep Milk al-Yamin; Konstruk Media, dan Belenggu Kebebasan Berpikir

Lailul Ilham. Foto: dok. pribadi

Oleh Lailul Ilham*


Masda.id — Saat ini jagat media sedang disibukkan oleh pemberitaan disertasi Abdul Aziz, kandidat doktor UIN Sunan kalijaga Yogyakarta yang hari Rabu (28/8/2019) baru dilaksanakan sidang terbuka. Bahkan satu hari pasca sidang, nama promofendus beserta tulisannya langsung mencuat di berbagai media dengan pemberitaan dan narasi yang beragam. Situasi tersebut mendapat respon publik yang juga berbeda-beda, kendati ada yang menerima atas pertimbangan kajian akademik, bagian dari pengetahuan, karya tulis ilmiah, dan pandangan objektif lainnya. Namun di luar itu lebih banyak lagi yang merespon dengan penolakan, kecaman, hujatan, bahkan menurut sebagian informasi sudah sampai pada tataran intimidasi fisik. Kemudian sebagai implikasi lain adalah kajian konsep Milk al-Yamin dalam perspektif Muhammad Syahrur menjadi ramai diperbincangkan, melalui forum-forum seminar atau diskusi di kampus, melalui obrolan para mahasiswa di warung kopi, di kamar kos, di tempat nongkrong dan tempat kerumunan lainnya.

Tulisan ini tidak akan bicara disertasi Abdul Aziz secara substansial karena pembahasan tersebut telah dilakukan beberapa media dan analis sebelumnya dan tentu pembahasan tersebut di luar kapasitas penulis. Tulisan ini akan membicarakan problematika disertasi Abdul Aziz sebagai ilmu pengetahuan di tengah otoritas publik; termasuk otoritas media, konstruk masyarakat, dan problematika kebebasan berpikir. Perspektif yang digunakan dalam tulisan ini adalah penempatan disertasi tersebut sebagai dirinya sendiri; penelitian ilmiah. Pertama, secara akademik disertasi tersebut sah sebagai karya ilmiah sebab telah memenuhi kerangka metodelogi dan pendekatan, literar dan dasar-dasar kajian terkait, serta analisis ilmiah. Sehingga hal tersebut menafikan segala alasan dari pihak manapun untuk menarik kembali atau mentidak-luluskan disertasi tersebut, baik sivitas akademik atau netizen yang tidak memiliki otoritas apapun untuk mendesak atau merekomendasikan sesuatu di wilayah tersebut. Terdapat situasi yang cukup serius selain tuntutan untuk tidak meluluskan disertasi Abdul Aziz yaitu tuntutan pencabutan gelar bagi promofendus serta pencabutan jabatan rektor dan direktur pascasarjana UIN Sunan Kalijaga atas kelalaian sebagai pejabat institusi yang menaungi. Suatu yang sebenarnya tidak mesti terjadi.

Kajian konsep tersebut sudah tidak relevan sebab sistem perbudakan (seksual) sudah tidak ada, dan Al-Quran turun membersamai gerakan pembebasan manusia dari segala bentuk sistem perbudakan yang terjadi di jazirah arab pada zaman pra islam. Konsep Milk al-Yamin sudah tidak sinergis dengan dua otoritas hukum di indonesia; hukum positif dan agama dan tentu sangat utopis jika menghendaki legitimasi konsep tersebut di negara ini. Bahkan mustahil. Namun satu hal yang perlu dibedakan yaitu problematika konsep Milk al-Yamin (Muhammad Syahrur) tidak berarti sekaligus menunjukkan larangan untuk dilakukan pengkajian dan penelitian, soal problematika konsep Milk al-Yamin adalah satu hal dan proses pengkajian dan penelitian merupakan hal lain, yang keduanya berbeda dan harus diperlakukan berbeda. Mestinya penelitian ini direspon positif sebagai kajian khazanah ilmu pengetahuan islam dan mesti diakui bahwa disertasi ini beserta problematikanya secara tidak langsung turut memberikan pemahaman lebih terkait gagasan besar Muhammad Syahrur, sehingga semakin terlihat bagian-bagian problematis dan mempermudah masyarakat dalam mengidetifikasi dan menghindari praktik-praktik perbudakan tersebut.

Kedua; bagaimana media merekonstruksi pikiran publik dengan narasi-narasi yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan substansi teks. Narasi yang dibangun mengarah pada hal-hal problematis dan itu suatu kewajaran dalam realitas pemberitaan, sebab semakin kontroversial maka semakin tinggi perhatian publik untuk mengikuti, dan dalam logika pasar memang itulah target media sehingga fokus perhatiannya pada bagian yang problematis. Bahkan beberapa narasi berita nyaris berseberangan, termasuk narasi yang mengatakan; pelegalan terhadap hubungan di luar nikah, pelegalan seks bebas, dan sebagainya, narasi tersebut jauh dari kontek pembahasan konsep Milk al-Yamin dalam pembahasan Abdul Aziz.

Ketiga; zaman reformasi tidak sebatas penanda runtuhnya rezim orde baru tapi juga awal kemerdekaan manusia dari belenggung kebebasan berpikir dan bergerak yang semula memenjaranya, dan kasus yang menimpa Abul Aziz adalah kontek lain namun menyerupai peristiwa da satu zaman tertentu. Struktur ingatan dan unconsciousness manusia tidak dapat dibatasi sehingga kasus problematika disertasi Abdul Aziz dengan sendirinya akan menggiring-menghubungkan ingatan pada satu zaman dimana tulisan yang sarat kritikan distigmatisasi ancaman terhadap stabilitas bangsa sehingga harus diberangus dari peredaran dan tidak boleh menjadi konsumsi publik. Begitu pula disertasi Abdul Aziz yang disinyalir hendak melegalkan perbudakan (seks), membolehkan seks bebas, melanggar moral dan syara’, serta mengancam agama dan bangsa. Tudingan tersebut sah sebagai tindakan preventif supaya tidak terjadi prakik-praktik perbudakan, namun lebih bijak jika disertasi tersebut tetap diposisikan secara objektif sebagai penelitian ilmiah dan cara mengkritisinya pun mesti dilakukan dengan cara sebanding. Bukankah tidak fare jika kritik terhadap karya sekelas disertasi dilemparkan dalam bentuk tudingan kesalahan, cacian, atau sejenis ungkapan nyinyir lainnya, jika memang terdapat kekurangan-kesalahan pada disertasi tersebut harusnya lakukan penelitian tandingan sebagai antitesis supaya seimbang.

Kemudian perlu juga diketahui bahwa disertasi Abdul Aziz merupakan kajian pemikiran tokoh, terlepas apakah pemikiran itu berseberangan dengan hukum positif dan agama, itu bukan persoalan, yang bermasalah ketika penelitian tersebut melahirkan gerakan yang mengarah pada upaya pelegalan konsep Milk a-Yamin (misalnya). Sedangkan penelitian Abdul Aziz sebatas kajian pemikiran, lalu sejak kapan berpikir atau mengkaji pemikiran dilarang?, bukankah dengan semakin dikaji/dibahas sisi-sisi problematisnya akan semakin tempak dan mempermudah masyarakat menghindarinya?. Pasca orde baru, masyarakat benar-benar merayakan kebebasan; kebebasan berpikir, berbicara dan berpendapat, serta kebebasan menentukan sikap dan pilihan, lalu bagaimana dengan kasus disertasi Abdul Aziz, bukankah itu semacam pengulangan situasi sebagaimana yang terjadi pada era dimana kebebasan dibelenggu oleh rezim, namun bedanya pada kontek disertasi ini pembatasan dilakukan oleh kekuatan lain di luar otoritas rezim.

Sekalipun disertasi Abdul Aziz hadir dalam wujud yang tidak biasa; melawan arus pengetahuan dan tatanan umum tapi penelitian tersebut sah sebagai karya tulis ilmiah dengan berbagai alasan yang telah disebutkan, bahkan patut diapresiasi karena berkontribusi terhadap pengetahuan masyarakat. Masyarakat yang tidak tertarik pada kajian islam atau orang muslim yang sebelumnya enggan mempelajari wawasan keislaman, tapi karena ramainya berita terkait problematika kosnep Milk al-Yamin menurut Muhammad Syahrur kemudian masing-masing mencari tahu dan tertarik membaca kembali literatur yang telah lama ditinggalkan sehingga akhinya masyarakat mengetahui letak problematika konsep tersebut dihadapan hukum positif dan hukum agama.[]


       Lailul Ilham, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Alumni Mashlahatul Hidayah Bluto Sumenep

Posting Komentar

0 Komentar