![]() |
Lailul Ilham. Dok. Pribadi. |
Oleh Lailul Ilham*
Masda.id - Sebagaimana siswa pada umumnya, santri merupakan terminologi lain dari kata siswa yang sama-sama merujuk pada arti “Pelajar” atau (yang) belajar atau individu yang menekuni pengetahuan secara umum atau tertentu. Namun secara pemakaian, terminologi santri lebih akrab dipakai untuk menunjukkan identitas pelajar yang secara spesifik mempelajari atau memperdalam wawasan-wawasan keagamaan, yang pendidikannya ditempuh di lembaga pendidikan pesantren.
Pada prinsipnya, eksistensi santri dalam setiap perkembangan dan peradaban adalah sama, yang berbeda adalah karakteristik sosio-kultur dan budaya santri dalam setiap perkembangan zaman tersebut. Sebab, setiap fase perkembangan akan membawa budayanya sendiri sebagai identitas baru, yang kemudian akan diganderungi oleh para santri atau para pelaja (secara umum) karena identitas tersebut dikonsepsikan sebagai trend model yang mesti direspon cepat, diafirmasi, dan kemudian dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, supaya terkesan seperti santri berkemajuan dan sadar perkembangan.
Ragam karakteristik yang ditunjukkan para santri tidak dapat disangsikan begitu saja, sebab keragaman tersebut muncul sebagai bukti pencarian, proses internalisasi, dan keputusan santri untuk memilih satu karakter khas untuk diidentitaskan kepada dirinya sendiri. Tidak dapat dipungkiri juga karakteristik yang dipilih pasti jenis karakter yang jamak diganderungi halayak umum sebab santri yang dalam diskursus psikologi perkembangan diposisikan sebagai individu dalam fase perkembangan rejama yang akan memilih identitas komunal (umum) sebagai identitas personal. Pada dasanya fenomena tersebut menunjukkan dua fakta sekaligus yaitu kesigapan santri dalam merespon satu hal serta kelalaiannya dalam merespon hal lain.
Sekarang coba kontektualisasikan dalam kajian literasi santri, secara sederhana literasi dapat dipahami sebagai kegiatan mengakses informasi, memahami, menganalisa, dan kemudian memfilter sesuai standar kebenaran serta relevansinya dengan keadaan (agama-budaya-sosial) sekitar. Artinya kerja literasi sangat berhubungan dengan kegiatan membaca, yaitu pembacaan yang dilakukan terhadap berbagai konten melalui jenis-jenis media yang juga beragam, baik dari tulisan langsung dari buku-buku, artikel, majalah, koran, dan berbagai media cetak lain, serta melalui tulisan digital yang diakses melalui layar komputer, smasrtphone, atau layanan fiture digital lainnya.
Secara kongkrit konsep literasi dapat diwujudkan berupa kegiatan membaca. Kemudian kembali ke judul, penulis menggunakan istilah “tradisi literasi” yang merujuk pada upaya membudayakan atau menghidupkan (kembali) budaya membaca di pesantren atau secara spesifik di tengah-tengah santri. Budaya literasi merupakan entitas yang tidak dapat dipisahkan dengan santri atau siswa dalam kontek pendidikan umum, sebab kodrat setiap pelajar setidaknya meliputi tida hal yaitu membaca, menulis, dan mendengarkan. Jadi idealnya santri harus memiliki tiga budaya tersebut untuk menunjukkan eksistensi dan mempertegas identitas kesantrian.
Namun dalam perkembangannya apakah budaya tersebut masih bertahan di kalangan santri, apakah tradisi membaca masih menjadi bagian dari kegiatan seahari-hari santri, dan apakah kegiatan membaca masih dianggap perlu menurut para santri. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak membutuhkan jawaban, cukup disepakati bahwa fakta menunjukkan realitas yang berbeda yaitu semakin menjauhnya santri dari kodratnya sebagai agen literasi. Mengupayakan perubahan pada situasi tersebut bukan perkara mudah dan membutuhkan proses yang relatif panjang, namun tetap ada alternatif-alternatif lain yang dapat diambil untuk mempercepat proses progresifitas yaitu membangun paradigma baru (cognitive restructuring) kaitannya dengan pemahaman urgensitas tradisi literasi di kalangan santri, dan pemahaman tersebut tentu harus terlebih dahulu disepakati oleh seluruh sivitas pendidikan dan jajaran pengelola pesantren. Sehingga (harapannya) akan melahirkan tindakan-tindakan kongkrit dalam mendorong para santri untuk kembali ke kodratnya sebagai agen literasi.
Dorongan tersebut dapat diwujudkan dengan kebijakan formal kepesantrenan seperti peraturan wajib kepada para santri untuk membaca buku (di luar pelajaran dan kita-kitab ajaran), atau dengan merekomendasikan ke dalam lembaga pendidikan formal seperti mengalokasikan beberapa menit waktu bagi para santri untuk membaca buku sebelum kegiatan belajar mengajar berlangsung, atau dengan cara-cara lain yang sama maksudnya dan tujuannya. Jika tidak mau menyentuh langsung persoalan membaca, mungkin atas pertimbangan tahapan-tahapan dan penyesuaian (culture shock), hal itu dapat dilakukan dengan mengarahkan santri untuk membiasakan diri membawa buku-buku bacaan atau buku saku dalam berbagai aktivitas sehari-hari. Percaya atau tidak, kegiatan “membawa” dan “membaca” adalah dua hal yang sangat dekat dan berurutan, jika santri sudah suka “membawa buku” maka dalam waktu dekat ia juga akan suka “membaca buku”. Terlepas apakah motif awal membawa buku karena sekedar mengikuti peraturan pesantren, karena takut disanksi, karena takut dimarahi, atau karena motif lain seperti karena ingin kelihatan rajin, karena ingin dipuji, atau karena ingin kelihatan keren (seperti pengalaman penulis saat nyantri) sehingga membawa buku kemana-mana senajan tanpa dibaca.
Menciptakan tradisi literasi di kalangan santri membutuhkan banyak hal; kesamaan persepsi diantara sivitas pesantren, kerjasama semua pihak, peraturan yang mendukung, manajemen yang baik, serta kontrol yang tegas dan berkelanjutan. Semua hal tersebut dimaksudkan untuk mendorong santri supaya kembali pada tradisi literasi, budaya membaca, memahami, mengalisis dan memilah bacaan (fakta/fiktif), sehingga akan lahir santri-santri kritis, yang mampu membedakan informasi fakta dan hoaks, sebagaimana yang digelisahkan selama ini. Santri yang kritis tidak mudah menerima sesuatu yang baru tanpa dasar berpikir, tidak mudah menafsirkan sesuatu secara serampangan, tidak mudah menghakimi (benar/salah) kepada yang berbeda, dan tentu santri kritis tidak mudah menjadi korban berita-berita keliru yang berbedar bebas. []
Lailul Ilham, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Alumni Mashlahatul Hidayah Bluto Sumenep.
0 Komentar